Mitos Tionghoa Ekstrem? Gak Banget Secara Logika, Tapi …

  • Post author:
  • Post category:Lifestyle
  • Post last modified:October 27, 2025
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Mitos Tionghoa Ekstrem? Gak Banget Secara Logika, Tapi …

Kadang, kita suka bingung melihat tradisi Chineess di sekitar kita. Bukan gak boleh! Gini lho say: Di satu sisi, mereka adalah arsitek bisnis ulung, master di balik toko-toko online raksasa, dan perencana keuangan yang perhitungan sampai ke titik koma. Di sisi lain, mereka bisa mendadak panik karena kalender menunjukkan tanggal lahir anaknya berbenturan dengan tanggal pemotongan kuku, atau harga rumah impiannya harus berakhir dengan angka ’88’ meski kelebihan seribu rupiah. Logika spreadsheet yang tadinya rapi, mendadak berantakan oleh satu keyakinan kuno yang gak banget di mata akal sehat. Apakah ini bisa kita katakan: Mitos Tionghoa Ekstrem?

 

Pahami dulu bahwa: Semua orang atau apa pun itu, punya cerita, punya kisah yang patut dihargai.

Kita semua tahu Feng Shui itu penting, tapi sadarkah kamu? Itu baru permukaannya! Di balik gemerlap cuan dan kesuksesan para crazy rich yang kita tonton di YouTube, misalnya, ternyata ada ritual-ritual ekstrem yang mereka jalankan diam-diam.

Ritual yang kalau kita ceritakan ke teman-teman Arab, mungkin “akan dianggap aneh.” Ini bukan soal etnis atau rasisme, ini soal cara unik sekelompok orang menjaga keseimbangan hidup mereka. Dan, boleh jadi, justru ritual-ritual inilah yang membuat bisnis mereka anti-bangkrut.

Penasaran apa saja yang tersembunyi di balik pintu-pintu kayu berukir naga itu?

Mitos Tionghoa?

 

Garis Tipis Antara Tradisi, Hokum (Kutukan), dan Ketenangan Batin

Kita sering menganggap tradisi hanyalah serangkaian kebiasaan turun-temurun, sebatas mengenakan baju merah saat Imlek atau menyajikan lauk tertentu saat sembahyang. Sampai disini setuju kan?

Padahal, jauh di lubuk hati, tradisi bagi mereka adalah sistem mitigasi risiko yang telah diwariskan ribuan tahun. Masyarakat umum seperti kita, misalnya, mungkin hanya melihat hasilnya: kekayaan, rumah besar, dan bisnis yang lancar.

Mereka tidak menyadari “biaya” tersembunyi yang harus dibayar: kepatuhan absolut pada serangkaian pantangan kecil yang bisa membuat pusing.

Sesuatu yang kita anggap sepele, seperti memilih tanggal potong rambut atau penempatan sepatu di rumah, bagi mereka adalah penentu nasib. Kenapa bisa begitu? Karena ada konsep yang disebut “Hokum”. Ini bukan sekadar kutukan, melainkan efek domino kosmis.

Misal-nya gini,

*koreksi jika salah*:

Ceritanya: kamu melanggar satu pantangan kecil (misalnya, menolak sedekah pada pengemis di depan toko), maka Hokum akan datang dalam bentuk kemacetan rezeki atau bisnis tiba-tiba sepi. Ini adalah konsep keadilan universal yang sangat dipercaya. Dan inilah yang membuat mereka tidak berani main-main, bahkan dengan hal yang “tidak masuk akal.”

Ini menjadi sebuah siklus unik: logika modern membantu mereka mencari uang, tetapi ketenangan batin mereka hanya bisa dibeli dengan mematuhi mitos kuno ini. Mereka hidup dalam dualisme yang tak terhindarkan. Pendidikan tinggi tentang seumpama: “manajemen modern” hanya bisa mengantarkan mereka pada kesuksesan, tetapi keyakinanlah yang melindungi kesuksesan itu dari nasib buruk.

Jadi,

Jika kamu bertanya-tanya, praktik apa saja seeh yang paling ekstrem dan paling ‘gak banget’, yang masih dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia, seperti apa yang terlihat? Sabar dong, kita segera masuk ke area rahasia yang jarang dibuka. Eng ing eng… Siap-siap terkejut, karena beberapa di antaranya bisa saja membuat kita “gagal paham”.

 

Mitos Tionghoa yang Gak Banget Menurut Sebagian Orang, Tapi Terus Dilakukan

Mitos Tionghoa yang mana?

Sebelum kita ‘paham’ bareng melihat betapa uniknya keyakinan-keyakinan ini, perlu kita pahami satu hal: hampir semua praktik ini berakar pada ketakutan akan kesombongan. Percaya atau tidak, tapi ini benar adanya. Intinya, jika hidup kamu terlalu sempurna, dewa atau roh jahat akan iri dan mengirimkan musibah. Jadi, kamu harus downplay atau menyamarkan kesuksesanmu.

Beberapa mitos Tionghoa yang sangat jarang orang sebelah tahu, tapi tetap dilakukan demi menjaga cuan dan nasib baik. Bagaimana dengan:

 

1. Menyimpan Satu Area Kotor atau Berantakan (The Dirty Corner Theory)

Ini adalah praktik counter-intuitive yang paling kocak.

Kita semua tahu prinsip Feng Shui menyarankan kebersihan dan keteraturan. Tapi, ada keyakinan yang beredar di kalangan pengusaha, misalnya: jika toko atau rumah terlalu bersih, terlalu rapi, dan terlalu perfect, maka roh jahat akan iri dan mengirimkan malapetaka. Solusinya?

Mereka sengaja menyisakan satu sudut (biasanya gudang atau kolong meja kasir) yang dibiarkan berantakan, lembab, atau kotor.

Ini adalah strategi “Pengalih Perhatian Hantu”. Tujuan dari kotoran itu bukan untuk menarik kesialan, melainkan untuk membuat roh jahat yang datang berpikir, “Ah, tempat ini kotor dan tidak terawat, tidak ada yang berharga di sini,” lalu pergi.

Secara logika, ini jelas jorok, tapi secara keyakinan, ini adalah jimat anti-malapetaka!

Heran?

Sama dong kita. Lalu, bagaimana dengan:

 

2. Ritual “Membeli Kematian” Saat Sehat (The Shòu Yī Protocol)

Ini adalah praktik yang dianggap sensitif dan tabu, namun diam-diam banyak dilakukan oleh orang tua atau pengusaha di usia 50-an ke atas. Shòu Yī (壽衣) namanya. Ini adalah proses di mana seseorang membeli atau menjahit pakaian pemakaman mereka sendiri “bahkan peti mati” saat mereka masih sehat walafiat.

Mitosnya, dengan mempersiapkan kematian, kamu menunjukkan kepada dewa bahwa kamu siap, yang secara ironis akan memperpanjang umur kamu. Logikanya, kamu mempersiapkan aset masa depan, tapi secara spiritual, kamu seperti melakukan negosiasi dengan takdir.

Bagi kita, ini jelas berbeda, tapi bagi mereka, ini adalah investasi umur paling berharga.

 

3. Pantangan Menyentuh Barang Baru Terlalu Cepat (The Untouchable)

Kamu baru saja membeli mobil mewah baru, atau mesin pabrik canggih yang harganya selangit. Logika mengharuskan kamu segera menggunakan dan memamerkannya. Tapi tidak! Ada mitos yang melarang pemilik untuk menyentuh atau menggunakan barang baru tersebut secara intens sebelum tanggal yang ditetapkan master.

Master?

Barang itu harus di”diamkan” dulu selama beberapa hari di tempat yang sudah disucikan. Tujuannya adalah membiarkan energi negatif yang mungkin menempel di barang itu lenyap. Bayangkan, mobil mahal baru di garasi, hanya boleh dipegang pakai sarung tangan.

Ini jelas bertentangan dengan kebanyak dari orang dengan tingkat konsumsi modern, tapi keyakinan Hokum lebih kuat dari keinginan pamer.

 

4. Menyembunyikan Pintu Masuk Toko/Rumah (The Secret Gateway)

Agak bingung juga kami memahami hal yang seperti ini.

Ini sering terlihat pada toko-toko tua atau rumah-rumah yang memiliki dua pintu. Secara Feng Shui, pintu utama harus mengarah ke rezeki. Tapi, mitos ekstrem mengatakan bahwa rezeki itu harus dilindungi dari mata jahat.

Maka, banyak yang sengaja menyembunyikan pintu masuk utama mereka dengan pot tanaman raksasa, papan reklame, atau bahkan tirai tebal, dan memaksa pelanggan/tamu melewati pintu samping yang kecil. Tujuannya agar rezeki yang masuk tidak terlihat mencolok dan tidak menimbulkan iri hati.

Sulit bagi pelanggan, tapi aman bagi cuan.

 

5. Angka Nggak Banget yang Diubah Menjadi Hoki

Semua orang Tionghoa menghindari angka 4 (sì, mirip dengan sǐ/mati). Tapi ada mitos yang jauh lebih unik: beberapa pengusaha sengaja memilih tanggal atau harga yang hanya memiliki angka 4, tetapi kemudian menambahkan angka 8 (fā/kaya) di belakangnya.

Misal lagi: Harga $444.88.

Logikanya: angka sial + angka hoki = netral. Ini adalah siasat negosiasi dengan takdir. Mereka yakin, dengan menunjukkan bahwa mereka sudah “menerima” kesialan (4), mereka berhak mendapatkan kekayaan (8).

 

6. Menghindari Menjual Barang Second dari Bisnis yang Gagal (The Bad Luck Sale)

Jika sebuah toko atau bisnis bangkrut, secara logika, aset-asetnya (meja, kursi, mesin) harus dijual untuk menutupi kerugian. Mitos ekstrem melarang ini! Barang-barang dari bisnis yang gagal dianggap “terkena sial permanen” dan tidak boleh dijual kepada orang lain.

Keyakinan ini mengatakan, menjual barang-barang itu sama dengan mentransfer sial ke diri sendiri atau ke pembeli. Alhasil, banyak pengusaha yang lebih memilih menghancurkan atau membuang aset-aset itu, daripada menjualnya, demi menyelamatkan bisnis mereka yang lain.

Boros? Tentu saja.

Tapi Hokum lebih menakutkan daripada kerugian aset.

 

7. Membayar Lebih untuk Barang Bekas yang Bersejarah (The Priceless Junk)

Ini kebalikan dari poin sebelumnya. Ada keyakinan bahwa barang bekas yang berasal dari toko atau rumah tangga yang sukses dan berusia tua memiliki “Energi Hokky” yang melekat.

Maka, mereka rela membayar mahal untuk barang second yang secara fisik tidak bernilai, hanya karena feeling atau karena barang itu berasal dari rumah orang kaya lama. Ini adalah “Investasi Aura”.

Nah, secara logika, kamu membeli barang bekas atau bisa dikatakan rongsokan deh, tapi secara keyakinan, kamu membeli energi kekayaan masa lalu.

 

Keyakinan, Budaya, dan Logika (Mengenal Lebih Dalam)

Lantas, bagaimana para Cindo (Tionghoa Indonesia) modern menafsirkan semua praktik yang terkesan ‘berbenturan’ ini?

Maksudnya tentang “Mitos Tionghoa” 🤔

Sebenarnya, bagi generasi yang lahir di tengah derasnya arus globalisasi dan berpendidikan tinggi, menjalankan mitos-mitos ini adalah sebuah kompromi intelektual yang elegan. Kamu akan sering menemukan seorang manajer investasi yang pagi hari bernegosiasi deal miliaran rupiah, namun sore harinya ia harus memastikan posisi meja kerjanya sudah sesuai dengan arahan Master Feng Shui.

Ini adalah pertempuran antara Logika Kapitalis dan Kebutuhan Spiritual.

Seorang pengusaha tahu bahwa kesuksesan datang dari kerja keras, inovasi, dan manajemen yang baik (Logika). Namun, mereka juga menyadari bahwa hidup penuh dengan ketidakpastian “musibah, bencana, atau pengkhianatan” yang berada di luar kontrol mereka.

Di sinilah keyakinan leluhur berfungsi sebagai Asuransi Ketenangan Batin. Mitos-mitos ekstrem itu menjadi cara mereka untuk menunjukkan kerendahan hati kepada alam semesta dan takdir.

Mereka telah melakukan Filterisasi Budaya.

Mitos yang bertentangan dengan kesehatan, seperti jorok, akan ditinggalkan. Tetapi, praktik yang berkaitan dengan Manajemen Risiko Takdir (misalnya, memilih tanggal baik untuk launching produk atau menghindari tanggal buruk untuk operasi) akan tetap dipertahankan.

‘Cindo’ juga tidak melakukan ritual karena percaya hantu, melainkan karena menghormati energi para pendahulu mereka yang berhasil. Jika nenek moyang mereka sukses dengan cara ini, kenapa harus diubah?

Inilah keindahan akulturasi budaya.

Logika membantu mereka meraih sukses finansial yang masif, sementara keyakinan memastikan mereka tidak menjadi sombong (terkena Hokum) dan tetap terhubung dengan akar mereka. Intinya, mereka menggunakan logika untuk menguasai dunia, dan menggunakan tradisi untuk menguasai diri mereka sendiri.

 

Tradisi Kuno Tapi Kami Belum Sanggup Meninggalkan-nya

Mitos Tionghoa?

Apa yang kita lihat sebagai ‘mitos ekstrem’ adalah representasi nyata dari perjuangan manusia dalam mencari keseimbangan. Artikel ini menjadi sebuah pengingat bahwa di balik segala kemajuan dan teknologi, manusia tetaplah makhluk spiritual yang butuh pegangan.

Masyarakat Tionghoa modern telah berhasil mengajarkan kita bahwa dualisme “antara modernitas dan tradisi” bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan adaptasi yang patut diberikan “respek” kata gen Z.

Mitos-mitos yang mereka jaga ini telah melampaui logika dan menjadi sebuah mekanisme kultural untuk bertahan hidup. Mereka berfungsi sebagai code of conduct (kode etik) yang mengingatkan pentingnya kerendahan hati, rasa syukur, dan pengakuan akan adanya kekuatan yang lebih besar dari uang.

Inilah warisan tak ternilai yang belum sanggup mereka tinggalkan, dan memang seharusnya begitu.

Funfact-Nya: Pohon yang paling kuat akarnya adalah yang paling tahan terhadap angin badai. Dengan tetap memegang erat tradisi, kami, para Cindo menunjukkan bahwa akar keyakinan-lah yang membuat kami tahan banting dan ‘boleh jadi’ tak terkalahkan, di tengah gejolak pasar dan kerasnya kehidupan.

Tak ada nasi, bubur pun jadi. Dijual, Eeh laku juga.👍…

 

Saya Cing-Cing (Cindo hitam tapi keren)

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply