Menuju masa keemasan, yang seharusnya menjadi puncak kejayaannya, sebuah benih kegelapan hati tumbuh subur mengawalinya. “The Golden Age” mengungkap kisah di balik suara harapan yang dipalsukan, di mana nafsu serakah merajalela dan mengorbankan segalanya, termasuk harapan.
Ini adalah potret dari sebuah era yang seharusnya menjadi masa bertumbuh menuju harapan atas kemakmuran. Namun, di balik kilauan kekuasaan, tersembunyi kisah kelam tentang ambisi tak terkendali dan ketamakan yang menghancurkan.
Bayangkan sebuah dunia di mana segala sesuatu tampak sempurna? “The Golden Age” mengajak kita menyelami kisah di balik fasad yang indah, tapi harapan itu hanya di pikiran. Lebih lanjut, berikut kisahnya:
Bazzar si Raja Serakah
Di sebuah kerajaan yang subur dan makmur, hiduplah seorang raja bernama Bazzar. Raja Bazzar, si tampan mantan pemburu ini, dikenal sebagai sosok yang ambisius dan tak pernah puas. Kekuasaannya yang mutlak membuatnya merasa berhak atas segala sesuatu.
Termasuk urusan memberi harapan kepada rakyatnya. Kita menuju “The Golden Age” kawan.
“Akulah raja dari para raja” Tegasnya.
Semua takut, termasuk si kuning. Harta, tahta, kekuasaan, pengaruh, aturan, hingga pujian rakyat, mengalir deras di tangannya, namun hatinya tetap kelaparan. Ia makan, tapi itu tak bisa membuatnya gemuk dan merasa kenyang.
Di sekitarnya, Raja Bertangan Besi ini dikelilingi oleh orang-orang yang bermulut manis, pembisik ulung, bacul-bacul berpakaian rapi, yang hanya mementingkan diri sendiri. Mereka-mereka ini di bagi kedalam masing-masing tugas.
Siapa mereka?
Perkenalkan:
- Ibu Pecun, seorang menteri keuangan yang rakus akan harta, selalu menyarankan Raja Bazzar untuk menaikkan pajak rakyat.
- Cong Alay, seorang penasihat yang hanya mementingkan penampilan, selalu memuji kemewahan dan keberhasilan dari sang Raja.
- Ko Norax, panglima perang yang haus akan darah, penderitaan rakyat, dan kekuasaan, selalu menyulut api peperangan untuk memperluas wilayah pengeboran.
Ketiga orang ini, dengan sifat buruknya, semakin menjerumuskan Raja Bazzar ke dalam jurang keserakahan yang membawa derita bagi rakyat bawah.
Tak Akan Pernah Cukup
Raja Bazzar tak pernah merasa cukup. Semakin banyak harta yang ia miliki, semakin besar pula kemauannya untuk “Lagi, dan lagi”. Ia membangun istana yang megah, mengumpulkan permata yang berkilau, dan menempatkan ribuan antek. Ia juga memaksakan ke tiga putranya yang masih sangat muda untuk belajar berkuasa.
Raja Bazzar: “Dengarlah rakyatku! Siapa pun yang berani melawan perintahku akan bernasib sama seperti para pejuang kecil yang telah kuhancurkan! Kalian akan merasakan murkaku!”
Sensor dan propaganda pun dimulai.
Bazzar mengontrol semua informasi yang beredar di kerajaan. Ia membungkam para kritikus dan menyebarkan propaganda yang memuji dirinya sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, ekonomi kian bertumbuh, dukungan diberikan sepenuhnya bagi kepentingan rakyat.
Untuk memberikan contoh kepada rakyat, Bazzar memerintahkan pasukannya untuk menertibkan suara-suara rakyat yang kritis. Siapa yang menolak tunduk atas perintahnya, “Sikaaat!”. Hukuman berat menjadi senjata. Dan rakyat jelata harus manut menahan lapar dan derita.
Tak Tinggal Diam
Sungguh derita tanpa akhir, rakyat hanya berani merintih dalam hati. Namun, penderitaan yang terus-menerus membuat mereka tak lagi mampu lagi untuk diam. “Cukup, cukup, kami sudah tak bisa lagi menderita”.
Desas-desus tentang kekejaman Bazzer menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Di setiap sudut kerajaan, kelompok-kelompok kecil mulai terbentuk, saling berbagi cerita dan mencari solusi kedepan.
Perlawanan Pun Tiba
Rakyat mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi ketidakadilan. Mereka mengumpulkan senjata seadanya, melatih diri, dan membangun jaringan komunikasi yang kuat. Perempuan dan remaja juga ikut berperan, dan memberikan dukungan moril kepada para pejuang.
Meskipun kalah dalam jumlah, rakyat berhasil memberikan perlawanan. Mereka menggunakan taktik “Lempar sampah sembunyi tangan” dan memanfaatkan medan yang mereka kenal dengan baik.
Walau tak seberapa, Kemenangan demi kemenangan berhasil mereka raih.
Dukungan dari Luar
Kabar tentang derita rakyat menarik perhatian dari kawasan sekitar. Beberapa di antaranya memutuskan untuk memberikan bantuan kepada rakyat yang sedang berjuang. Mereka mengirimkan beberapa bantuan, untuk membantu melawan kekuasaan.
Ketika Itu Tak Seindah Kenyataan
Dalam keadaan terdesak dan putus asa, ia terlihat seperti ketakutan. Ia takut kehilangan kekuasaannya, takut dikhianati oleh orang-orang di sekitarnya, dan takut akan hari tua yang di hujat apalagi di permalukan.
Di balik mahkota emas dan jubah mewah yang ia kenakan, Bazzer hidup dalam kegelisahan yang menjadi-jadi. “Ini bagai hantu yang membelakangi”. Kekuasaan mutlak yang ia genggam bagaikan bermain api. Di satu sisi, ia merasa bersinar, namun di sisi lain, api itu membakar dirinya.
Mimpi Buruk yang Berulang
Setiap malam, Sang Raja terganggu oleh mimpi buruk. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang marah, mendengar jeritan kelaparan, dan merasakan dinginnya kemiskinan. Mimpi-mimpi ini membuatnya terbangun dalam keadaan ketakutan dan berkeringat dingin.
Ia mencoba menghindarinya dengan pesta dan kesenangan, namun kegelisahan itu tetap menghantuinya. Kegelisahan yang terus-menerus menggerogoti jiwa Bazzer mulai berdampak pada fisiknya.
Ia menjadi insomnia, gangguan psikosomatik, marah yang berlebih, dan kehilangan nafsu makan. Para Tabib bayaran “si tukang promosi obat” istana, telah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkannya, namun tak ada yang berhasil.
Kala Cahaya Itu Datang
Suatu hari, seorang seorang kurir bernama “Donat” datang ke istana. Kurir itu mengantarkan sebuah dokumen. Dokumen itu berisikan beberapa tulisan, seperti:
“Wahai raja, harta dan kekuasaan hanyalah tipu daya dunia. Harta dan takta itu bagai sayap nyamuk, Kebahagiaan sejati terletak pada kebijaksanaan dan jiwa yang penuh kebaikan”
Terdiam. Harapan itu seakan mengguruinya.
Haaahh… ternyata hidup ini sungguh melelahkan jika kita mempertahankan keserakahan dan nafsu. Ia menyadari bahwa keserakahannya telah membuatnya kehilangan banyak hal yang berharga. Ia kehilangan senyuman dan doa rakyat, kehilangan persahabatan, dan yang paling penting, ia kehilangan kebenaran hidup.
Saat itu entah mengapa, tiba-tiba raut muka sang Raja berubah, seperti mendapatkan satu hidayah kebenaran.
“Aku, saat ini memutuskan untuk berubah.” Kemewahan akan aku berikan untuk kedaulatan rakyat, kekayaannya aku bagikan, dan aku akan selalu menerima keluhan dan nasihat rakyat. Ia juga belajar untuk memaafkan dan melepaskan semua derita hidupnya.
Perlahan tapi pasti,
Bazzar mengalami perubahan yang luar biasa. Hatinya menjadi lebih tenang, hubungannya dengan rakyat menjadi lebih harmonis, dan kerajaan pun semakin makmur. Bazzar menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada harta benda atau kekuasaan, melainkan pada kepuasan hati dan ketenangan jiwa.
Beberapa dekade kemudian, The golden age pun tiba. “Masa keemasan yang kita impikan telah datang”. Bukan wacana, tapi keberhasilan bersama. Kerajaan yang dulunya biasa-biasa saja menjadi makmur sentosa.
Happy Ending sekali yaa ceritanya.
Mencari Hikmah Dibalik Kisah
Keserakahan adalah penyakit hati yang dapat menghancurkan hidup banyak orang. Harta dan kekuasaan hanyalah tipu daya. Kebahagiaan sejati terletak pada kepuasan hati, ketenangan jiwa, dan hubungan yang baik dengan sesama.
Ingat! Berhati-hatilah dengan para pembisik yang munafik. Mereka hidup dengan memanfaatkan posisinya, mencari keuntungan dan berlindung dari kesalahan yang mereka hembuskan.
Belajar dari kisah Si Raja Bazzar yang Agung, kita dapat memetik hikmah untuk selalu sadar dalam menghadapi sesuatu. Pun termasuk jika kita di berikan ujian dan cobaan, berupa kekuasaan, harta, dan jabatan.
Tak ada yang abadi di dunia ini.
Satu Catatan dari Si Kurir
Setiap orang memiliki potensi untuk berubah menjadi lebih baik, termasuk ketika itu adalah seorang raja yang tamak. Jangan pernah menyerah pada keadaan dan teruslah berjuang untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik.
Ingatlah, keberhasilan terbesar adalah ketika kita mampu mengendalikan diri sendiri dan mencapai kedamaian dari satu sisi kebaikan. Kekayaan dan kekuasaan, tidak akan pernah memuaskan orang yang serakah.
Lalu, Bagaimana kabar Ibu Pecun, Cong Alay, dan Ko Norax? Singkat cerita, mereka bertiga kabur meninggalkan sang Raja, bersembunyi di rumah tetangga sebelah. Ingat pesan dari Ibu Budi: Kekuasaan itu bagai anak kecil yang sedang bermain. Ia lupa bahwa sore nanti, ia akan lelah, kotor, dan harus berhenti bermain.
Salam Dyarinotescom.