You are currently viewing Fake Smile: Berbaur Dengan Suasana Seadanya

Fake Smile: Berbaur Dengan Suasana Seadanya

Pernah ngerasa gak sih, di tengah keramaian, kita dipaksa untuk pasang senyum lebar, padahal hati lagi remuk? Atau pas lagi ngumpul-ngupul bersama circle kita, eeh malah ngerasa jadi penonton ketimbang ikut berbaur. Itu dia, yang namanya fake smile. Memilih untuk menutupi perasaan yang sebenarnya dan ikutan asix tertawa, daripada harus membongkar masalah diri.

“Buka dulu topengmu.” 2x

Senyum lebar menjadi semacam ‘pakam‘ basa basi nya orang Indonesia. Semua orang harus terlihat sedang happy-happy. Tapi, jika diperhatikan lebih teliti, banyak banget kan yang cuma lagi pamer + senyuman palsu. Kita sudah terbiasa dengan keramahtamahan dan menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Jadi cari aman sajalah… Keep Smile.

Tapi apakah ini cukup aman?

 

Fake Smile, Amankah?

Sepertinya sih gampang banget yaa. Tapi, jika keseringan dengan yang namanya “fake smile”, apakah aman?

Untuk jangka pendek, mungkin gak ada masalah yang terlalu serius. “Aman-aman saja”. Malah, beberapa penelitian mengatakan bahwa: senyum palsu bisa membuat suasana hati jadi lebih baik. Kira-kira, hampir sama seperti makan makanan instan. Terlalu sering juga gak bagus bagi kesehatan.

Nah, berbicara jangka panjang, cerita-nya beda lagi.

Bayangkan saja, kamu terus-terusan nutupin perasaan aslinya kita gimana. Lama-lama, kamu meledak dong. Dan bisa menjadi satu kebingungan tersendiri. Selain itu, fake smile juga kadang membuat kita uring-uringan alias: stres lho. Kenapa? Karena kamu terus-terusan berpura-pura menjadi orang lain. Kamu akan kehilangan sesuatu yang berarti yaitu kejujuran. Karena membiasakan diri dengan berpura-pura.

Tahukah kamu bagaimana mengetahui ciri dari Senyum palsu itu.

 

Bagaimana Ciri Orang Dengan Fake Smile?

Ini mah guampang banget buat ngebedain orang yang lagi pasang fake smile. Senyum palsu, ketahuan dari bentuk bibirnya yang tertarik ke belakang, membentuk semacam lesung pipi yang dalam atau senyum menyeringai. Selain itu, lengkungan bibirnya juga enggak sempurna, enggak membentuk huruf U yang natural.

Coba perhatikan matanya.

Senyum tulus itu, matanya pasti ikut ikutan ketawa, tuh. Beda sama yang lagi fake smile, matanya kayak gak nyambung gitu sama senyumnya. Terus, perhatiin juga bibirnya, kalau lagi nge-fake ketawanya, seringkali cuma di bibir doang, gak sampai ke mata.

Pokoknya, ekspresi wajahnya keliatan kaku dan gak natural.

Selain dari ekspresi wajah, kita juga bisa melihat itu dari perilaku orang yang lagi tersenyum dengan seribu kepalsuan. Mereka terlihat canggung dan tidak nyaman jika sedang ketawa. Terus, durasi senyumnya juga sebentar banget. Satu, dua kali sudah cukup. Seperti dipaksa. Nah, jika kamu ngobrol dengan orang yang lagi fake smile, akan merasa “ada yang aneh!”, seperti ada jarak.

Mengapa kamu lakukan itu?

 

Mengapa banyak orang melakukannya?

Salah satu alasan utama orang sering pasang senyum palsu adalah karena profesi dan tekanan sosial. Mereka merasa harus selalu tampil ceria dan positif, bahkan saat sedang merasa sedih atau marah. Takut dibilang ‘lebay banget sih loe’ atau ‘negatif’, akhirnya mereka memilih untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya.

Terutama dalam lingkungan yang sangat mementingkan image, seperti di media sosial, komunitas, lembaga negara, dll. Orang merasa harus dan terdorong untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka, meskipun itu berarti harus berpura-pura bahagia.

 

Jika Ini Keharusan, Harus Bagaimana?

Benar, kadang kita memang tidak bisa sepenuhnya menghindari situasi yang menuntut kita untuk senyum. Tapi, kita bisa belajar mengelola emosi tersebut. Misalnya, jika kamu sedang merasa tidak nyaman, beri ruang untuk menghela napas dalam-dalam atau cari tempat yang lebih sepi.

Ingat, senyum itu boleh, tapi jangan sampai menjadikan kita robot yang selalu terlihat ‘bahagia’. Kita juga membutuhkan ketegasan dalam menentukan batasan. Jika situasi membuat kamu memilih untuk ketidaknyamanan, tidak masalah mengatakan “Tidak!”

 

Senyum Palsu dalam Keluarga: Perlukah?

Dalam lingkaran keluarga, misalnya, senyum seringkali menjadi “wajib”. Kita berusaha untuk selalu ceria dan menghindari konflik. Takut jika menunjukkan sisi lemah atau berbeda pendapat, jadinya “ribet dan ribut!”. Selain itu, ini kan kita lakukan demi menjaga harmoni, dan itu jauh lebih penting.

Senyum seadanya bukan berarti itu palsu. Terkadang, kita memang tidak selalu merasa bersemangat atau bahagia, Lelah dengan kerjaan dan persoalan. Lagian, senyum seadanya bisa menjadi cara yang lebih jujur untuk mengekspresikan diri.

 

Maksud Senyum Seadanya Itu Bagaimana?

Senyum seadanya, dengan segala kesederhanaan apa yang ada, seringkali menjadi cerminan lebih akurat dari apa yang ada dibalik diri seseorang. Tidak selalu perlu memaksakan senyum lebar untuk menunjukkan kebahagiaan.

Tak perlu harus tertawa terpingkal-pingkal.

Terkadang, sebuah senyum tipis atau bahkan sekadar sudut bibir yang terangkat, sudah lebih dari cukup untuk menyampaikan perasaan kita yang sebenarnya. Senyum seadanya memberikan ruang bagi kita untuk menjadi diri sendiri tanpa perlu menyembunyikan emosi yang sedang kita alami.

Bentuk kejujuran yang sederhana namun bermakna. Dibandingkan dengan senyum palsu yang dipaksakan, senyum seadanya memiliki beberapa kelebihan.

 

Pertama

Senyum seadanya adalah cerminan autentik dari perasaan kita. Ketika seseorang tersenyum seadanya, pesan yang disampaikan jauh lebih jelas dan tulus. Tidak ada lapisan pencitraan atau kepura-puraan yang berusaha disembunyikan.

Justru, senyum seadanya ini membuka jendela bagi orang lain untuk melihat kita apa adanya. Ini secara alami membangun kepercayaan. Tak perlu neko-neko, orang lain akan merasa lebih nyaman.

 

Kedua

Senyum seadanya, cukup dapat mengurangi kelelahan dan stres. Kadang, kala lelah senyum itu yaa seadanya saja. Dengan tidak perlu terus-menerus menjaga citra bahagia, kita memberikan ruang bagi diri sendiri untuk merasa lebih rileks, santuy, dan tenang.

 

Terakhir

Senyum seadanya dapat memperkuat hubungan kita dengan orang lain. Ketika kita jujur tentang perasaan kita, orang lain akan lebih mudah untuk memahami dan mendukung apa maunya kita. Kejujuran itu membuka ruang bagi empati dan pengertian.

Dengan mengetahui perasaan kita yang sebenarnya, orang lain dapat merespons dengan lebih terbuka dan memberikan dukungan yang kita butuhkan. Hubungan yang dibangun atas dasar kejujuran cenderung lebih kuat dan tahan lama.

 

Berbaur Dengan Suasana Seadanya

Di balik senyum palsu yang sering kita jumpai, tersembunyi lapisan kepalsuan yang menghambat terucapnya literasi. Menjadi semacam tembok tak terlihat yang membatasi interaksi. Ketika kita terus-menerus mengenakan topeng keceriaan, kita menutup diri dari kesempatan untuk berbagi. Akibatnya, Semua menjadi statis, terjebak dalam pola komunikasi yang dangkal.

Tidak perlu kepalsuan untuk hanya sekadar berbaur. Setiap orang memiliki frekuensinya sendiri, dan keunikan itulah yang membuat kita menarik. Teman dekat itu tak harus teman lama, cukup memiliki kesamaan maksud. Kawan seperjuangan juga bisa siapa saja, asalkan memiliki tujuan yang sama.

Jadi untuk apa ‘Fake Smile”?

 

Salam Dyarinotescom.

Tinggalkan Balasan