“Sudah sembuh penyakit mental nya?” rada bingung😠 “Eits, apa maksudmu ni!” Mungkin terdengar sepele, tetapi sebenarnya menyentuh akar masalah. Malas, misalnya, bukan sekadar keengganan untuk bergerak doang, tetapi juga cerminan dari mental kita sedang tidak baik-baik saja. Salah satu dari banyaknya penyakit mental yang melanda masyarakat saat ini.
Malas melakukan kebaikan, malas menjaga kebersihan, bahkan malas untuk jujur sekalipun adalah gejala-gejala yang menunjukkan adanya sesuatu yang harus semua orang perbaiki. Nah, puasa hadir sebagai salah satu solusi yang pasti. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa adalah latihan spiritual dan fisik yang dapat mengubah dan membersihkan mental.
Tentu, ini bukanlah permainan.
Puasa Sejatinya Menyembuhkan Penyakit Mental
Masyarakat seringkali di landa kebingungan saat mendengar bahwa “puasa,” terutama di bulan Ramadan, dapat menjadi sarana penyembuhan penyakit mental. Bagaimana mungkin ibadah yang secara fisik tampak sederhana, tapi kok mampu memberikan dampak psikologis yang begitu mendalam?
Kenyataannya,
Puasa memiliki potensi luar biasa dalam melatih pengendalian diri, membuang jauh-jauh rasa malas itu sendiri, memperkuat kesabaran, dan empati, serta hal lainnya yang justru penting dalam menjaga kesehatan mental. Seseorang yang mudah terpancing emosi, misalnya. Melalui jalur puasa, ia belajar untuk menahan amarah.
Awalnya, mungkin ia melakukannya semata-mata untuk menjaga kesempurnaan ibadah, tetapi seiring waktu, ia mulai terbiasa mengendalikan diri. Proses ini, yang di lakukan secara berulang dalam 30/29 hari kedepan dan pada setiap tahunnya. Lambat laun membentuk karakter yang lebih sabar dan bijaksana.
Manfaat Puasa Tidak Hanya Terbatas Pada Pengendalian Emosi Doang
Ibadah ini tentu saja dapat menjadi katalis perubahan yang baik bagi berbagai kelompok usia. Bagi generasi muda yang seringkali terjebak dalam lingkaran kemalasan, puasa dapat menjadi titik awal untuk membangun disiplin diri dan semangat.
Kebiasaan bangun pagi untuk sahur, menjaga kebersihan diri untuk salat tarawih, dan menahan diri dari godaan duniawi, semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter yang lebih kuat.
Sementara itu,
“Maaf” bagi orang tua yang mungkin merasa putus asa atas penyakit atau kehilangan harapan, puasa dapat menjadi momen refleksi dan introspeksi. Melalui doa dan ibadah, mereka dapat menemukan ketenangan batin dan menyerahkan segala beban hidup kepada Sang Pencipta.
Proses penyerahan diri, yang di iringi dengan keyakinan akan pertolongan Allah SWT, dapat memberikan kekuatan mental yang luar biasa. Sampai di sini, masih belum yakin: puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang melatih jiwa untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih dekat dengan Allah SWT.
Deretan Penyakit Mental Yang Sembuh karena Puasa
Om, tante, encang, encing, mak, babe, kakakku, adinda, dan abang, mari kita kultum sejenak.
Bulan Ramadan, dengan ibadah puasa di dalamnya, adalah anugerah terindah yang Allah SWT limpahkan kepada umat Islam di seluruh dunia. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa adalah proses penyucian diri yang memiliki kekuatan penyembuhan luar biasa.
Sejati-nya: puasa dapat menjadi wasilah untuk menyembuhkan berbagai penyakit, baik fisik maupun mental, menggugurkan dosa-dosa yang telah lalu, dan membuka pintu rezeki yang tak terduga.
Namun, semua keutamaan ini hanya akan kita raih jika kita mampu menjalankan puasa dengan penuh ketakwaan, dengan hati yang ikhlas dan niat yang tulus. Bismillahi tawakkaltu ‘alallah (بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ) dengan nama Allah aku berserah diri.
Jujur saja, ada banyak list ‘penyakit mental’ yang bisa sembuh karena puasa. Agar tidak terkejut kami susunkan dan perhalus bahasanya, daftar beberapa penyakit mental yang bisa di ringankan atau di atasi dengan puasa, diantaranya:
1. Parno Akut (Paranoia)
Rasa curiga berlebihan, atau dalam istilah psikologi dikenal sebagai paranoia, seringkali menjadi momok yang menghantui kehidupan kita, menciptakan ketidaktenangan dan kecemasan yang tak berkesudahan. Namun, di sinilah keajaiban puasa Ramadan berperan.
Melalui ibadah yang penuh berkah ini, kita dilatih untuk memperkuat iman dan tawakal kepada Allah SWT, menanamkan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berada dalam kendali-Nya.
لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ
“Laa hawla wa laa quwwata illa billah” yang artinya: tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Dengan memperbanyak zikir, doa, dan tadarus Al-Quran, kita membersihkan hati dari waswas dan pikiran-pikiran negatif yang merusak. Puasa mengajarkan kita untuk melepaskan kendali, menyerahkan segala kekhawatiran kepada Sang Maha Pencipta, dan fokus pada kebaikan yang ada di sekitar kita.
Hati yang bersih adalah cermin yang memantulkan kebenaran, dan puasa adalah sarana untuk membersihkan cermin hati kita dari debu-debu keraguan dan ketakutan.
2. Mager Kronis (Malas)
“Mager kronis”, istilah populer bagi keengganan akut untuk melakukan aktivitas, bahkan yang paling penting sekalipun, menjadi momok bagi produktivitas dan kualitas. Namun, di sinilah pintu-pintu keajaiban puasa Ramadan terbuka.
Lebih dari sekadar menahan perut keroncongan, puasa adalah madrasah ruhani yang melatih disiplin diri secara intensif. Kebiasaan bangun sahur, menahan godaan duniawi, dan menunaikan ibadah tarawih, semuanya menuntut komitmen dan konsistensi.
Persis seperti ketika kita menempa besi, puasa membentuk karakter yang kuat dan tangguh, menanamkan kebiasaan positif yang akan berbuah manis di kemudian hari.
مَنْ جَدَّ وَجَدَ.
“Man jadda wa jada,” siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil.
Dengan puasa, kita belajar mengendalikan hawa nafsu, mengalahkan kemalasan, dan meraih kemenangan atas diri sendiri.
3. Saltofobia (Takut Kerumunan)
Saltofobia, atau rasa cemas berlebihan saat berada di tempat ramai, seringkali membuat kita terperangkap dalam sangkar anti-sosial, menjauhkan diri dari interaksi yang sebenarnya bisa memperkaya hidup. Di sinilah keajaiban puasa Ramadan bersinar sebagai terapi jiwa yang mujarab.
Berpuasa, kita dilatih untuk fokus pada ibadah, pada ‘habluminallah’, hubungan vertikal kita dengan Sang Pencipta, sehingga rasa takut dan cemas yang menghantui perlahan sirna. Ingatlah, ‘la tahzan innallaha ma’ana’, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.
Saat kita menyerahkan segala kekhawatiran kepada-Nya, kita akan merasakan ketenangan batin yang luar biasa. Puasa bukan hanya tentang “katakan tidak pada burger!”, tetapi juga tentang melatih ‘mujahadah an-nafs’, perjuangan melawan hawa nafsu dan ketakutan yang membelenggu.
Dengan berpuasa, kita belajar untuk mengendalikan diri, menguatkan iman, dan menyadari bahwa hanya kepada Allah-lah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.
4. Krematofobia (Takut Miskin)
Kekhawatiran berlebihan akan kekurangan rezeki, atau yang dalam istilah psikologi sering disebut krematofobia, seringkali menjerumuskan kita ke dalam jurang materialisme. Kita menjadi budak dunia, terobsesi untuk mengumpulkan harta benda tanpa pernah merasa cukup.
Padahal, rezeki itu bukan hanya tentang materi, tetapi juga tentang kesehatan, kebahagiaan, dan ketenangan hati. Puasa hadir sebagai penawar bagi penyakit hati ini. Melalui puasa, kita dilatih untuk qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang telah di berikan oleh Allah SWT.
Kita belajar untuk mensyukuri setiap nikmat, sekecil apapun itu, dan meyakini bahwa rezeki telah di atur oleh-Nya dengan sebaik-baiknya. Ingatlah firman Allah SWT:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَاۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ ٦
Artinya: Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
(QS. Hud: 6).
Dengan keyakinan ini, kita akan terbebas dari belenggu ketakutan akan kemiskinan dan hidup dengan hati yang lebih lapang.
5. Sitofobia (Takut Lapar)
Sitofobia, atau fobia berlebihan terhadap rasa lapar, seringkali menjebak kita dalam lingkaran konsumerisme yang tak berujung, di mana setiap rasa lapar harus segera dipadamkan dengan makanan berlimpah. Nah, puasa masuk sebagai donat terbaik, melatih kita untuk mengendalikan nafsu makan yang seringkali tak terkendali.
Dalam momen-momen menahan diri dari santapan lezat, kita belajar untuk menghargai setiap suap makanan yang ada, menyadari bahwa rezeki bukan hanya tentang kuantitas, tetapi juga tentang keberkahan.
“Perut yang lapar adalah coaching terbaik”. Puasa mengajarkan kita untuk merasakan nikmatnya kesederhanaan dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada limpahan materi, tetapi pada rasa syukur atas nikmat yang telah di berikan.
“Seteguk air, sebutir kurma, cukup untuk mengatasi lapar kan”. Dengan berpuasa, kita tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga membersihkan jiwa dari kerak-kerak keserakahan, menjadikan diri kita lebih dekat dengan Sang Pemberi Rezeki.
6. Juliditis (Suka Gosip)
Juliditis” atau kebiasaan buruk menyebarkan informasi yang belum tentu benar, bagaikan penyakit yang menggerogoti keharmonisan sosial. Dalam Islam, perbuatan ini dikenal sebagai “ghibah” dan sangat dicela.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,” Sabda Rasulullah SAW.
Dengan menahan diri, kita juga belajar mengendalikan hawa nafsu untuk bergosip dan menyebarkan fitnah. “Lisanmu adalah pedangmu,” maka berhati-hatilah dalam menggunakannya.
Banyaklah merenung “bukan melamun”, berzikir “bukan hanya komat-kamit”, dan membaca Al-Qur’an “cari tahu makna terkandung di dalamnya”, menggantikan kebiasaan buruk dengan amalan yang lebih bermanfaat.
7. Overthinking (Kecemasan Berlebihan)
Kebiasaan memikirkan hal-hal negatif secara berlebihan, atau yang sering di sebut dengan istilah “overthinking,” bisa membuat kita terjebak dalam lingkaran “panik!” yang tak ada ending-nya. Kondisi ini, yang dalam istilah keren nya di sebut sebagai kecemasan generalisasi, dapat menggerogoti ketenangan batin dan menghambat produktivitas.
Dengan berpuasa, kita di latih untuk fokus pada ibadah, seperti sholat, tadarus, dan zikir, yang dapat mengalihkan perhatian kita dari pikiran-pikiran negatif. Selain itu, puasa juga mengajarkan kita untuk bertawakal.
8. Baperan (Sensitif Berlebihan)
Dalam kehidupan sosial, seringkali kita temui individu yang mudah ‘baperan’, yaitu mudah tersinggung dan terbawa perasaan. Kondisi ini tentu saja dapat menjadi hambatan dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama.
Melalui puasa, kita dilatih untuk mengendalikan ‘hawa nafsu’ dan emosi yang bergejolak. Kita belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi berbagai situasi, bahkan yang paling menantang sekalipun.
Amarah itu seperti api, jika tidak dikendalikan, ia akan membakar diri sendiri dan orang lain. Dengan berpuasa, kita memperkuat ‘benteng kesabaran’ dalam diri, sehingga kita tidak mudah terpancing emosi dan dapat berinteraksi dengan orang lain secara lebih bijaksana.
“Jangan marah, bagimu surga”. Oleh karena itu, mari kita jadikan puasa sebagai sarana untuk meningkatkan ‘kecerdasan emosional’ dan membangun hubungan yang lebih baik dengan sesama.
9. Perfeksionis Ekstrem
Perfeksionisme yang berlebihan, yang dalam istilah populernya sering di sebut sebagai “perfeksionis akut,” dapat menjadi beban mental yang berat, memicu stres dan mengurangi kebahagiaan.
Puasa sekali lagi sebagai obat jiwa, melatih kita untuk menerima ketidaksempurnaan dirimu, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Melalui puasa, kita belajar bahwa kesempurnaan hakiki hanyalah milik Allah SWT, dan sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan.
Wajarlah Manusia Bukan Nabi Boy! “Keplaakk!”
Dengan berpuasa, kita di ajak untuk meraih makna penerimaan diri, bahwa setiap manusia memiliki keunikan dan potensi masing-masing, dan bahwa kekurangan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang penuh hikmah.
10. Apatis (Kurang Peduli)
Apatis, atau kurangnya empati dan kepedulian terhadap sesama, adalah penyakit hati yang menggerogoti kemanusiaan. Dalam Islam, ini bertentangan dengan konsep “ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan sesama Muslim) dan “hablum minannas” (hubungan baik antarmanusia).
Ketika kita hanya fokus pada diri sendiri, kita kehilangan kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain, dan ini menjadikan kita pribadi yang egois. Puasa tempat kita belajar untuk menahan diri dari segala bentuk kesenangan duniawi, sehingga kita dapat merasakan apa yang di rasakan oleh mereka yang kurang beruntung.
Melalui puasa, kita di latih untuk meningkatkan rasa empati, menumbuhkan kepedulian, dan menyadari bahwa setiap manusia adalah bagian dari satu kesatuan. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya termasuk lingkungan.
Keistimewaan Puasa Ramadan: Penyembuh Segala Penyakit
Ramadan, sebagai hadiah dan karunia nikmat dari Allah SWT, bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membersihkan jiwa dan raga secara menyeluruh. Di balik kewajiban menahan diri atas dorongan hawa nafsu, tersimpan keistimewaan luar biasa, termasuk potensi penyembuhan segala penyakit, baik fisik maupun mental.
Di bulan suci ini, kita ‘back to school’ demi melatih untuk belajar dan belajar mengendalikan diri, menenangkan pikiran, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ramadan mengajarkan kita untuk bersih-bersih jiwa.
Berpuasa, kita tidak hanya membersihkan diri dari dosa, tetapi juga menumbuhkan kepekaan sosial dan meningkatkan kualitas spiritual. Tiada kata terucap selain bersyukur atas nikmat iman dan Islam, serta kesempatan untuk meraih kesehatan mental dan spiritual yang optimal di bulan yang penuh berkah ini.
Aamin.
Salam Dyarinotescom.