Capek gak sih dengan drama kehidupan sehari-hari? Merasa lelah dengan pikiran negatif yang terus berputar? Mungkin saatnya kamu berkenalan dengan Stoicism, sebuah filosofi kuno yang menawarkan pendekatan yang segar untuk menghadapi segala tantangan hidup.
Stoicism, yang berasal dari kata Yunani “stoa” yang berarti teras, adalah aliran filsafat yang mengajarkan kita untuk hidup dengan bijaksana, berani, dan penuh pengendalian diri. Para filsuf Stoic percaya bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk menerima apa yang ada di luar kendali kita dan fokus pada hal-hal yang bisa kita ubah.
Misalnya, ketika kita mengalami kegagalan dalam pekerjaan, reaksi yang biasa terjadi yakni perasaan sedih, misalnya, marah, atau frustasi.
Namun,
Dengan menerapkan Stoicism, kita bisa mencoba untuk melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Kita bisa bertanya pada diri sendiri, “Apa pelajaran yang bisa saya ambil dari pengalaman ini?” Dengan cara ini, kita mengubah kegagalan menjadi power.
Gasken!
Lalu, Apa Beda Stoicism dengan Konfusianisme
Stoicism dan Konfusianisme, meskipun berasal dari zaman dan budaya yang berbeda, memiliki beberapa kesamaan dalam tujuannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara keduanya.
*Ralat bila kami keliru*
Stoicism lebih berfokus pada individu dan hubungannya dengan alam semesta. Filsafat ini menekankan pada penerimaan terhadap hal-hal yang di luar kendali kita, pengembangan diri, dan mencapai kebahagiaan batin melalui pengendalian emosi dan pikiran. Stoicism mengajarkan kita untuk fokus pada apa yang ada dalam kuasa kita dan tidak terpengaruh oleh peristiwa eksternal.
Konfusianisme, di sisi lain, lebih berorientasi pada masyarakat dan hubungan sosial. Filsafat ini menekankan pentingnya etika, kesopanan, dan hierarki sosial. Konfusianisme mengajarkan kita untuk menghormati orang tua, leluhur, dan aturan sosial demi menjaga harmoni dalam masyarakat.
Ooh ya, taukah kamu banyak tokoh yang menerapkan Stoicism dalam hidup mereka.
Memetik Kisah Tokoh Stoicism
Taukah kamu tentang Marcus Aurelius sang ‘Kaisar Filsuf’?
Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang memerintah pada abad ke-2 Masehi, adalah sosok yang unik dalam sejarah. Selain menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, ia juga dikenal sebagai seorang filsuf Stoik yang produktif. Dalam karya monumentalnya, “Meditasi”, Aurelius mencatatkan refleksi pribadinya tentang kehidupan, kematian, dan tugas seorang pemimpin.
Sebagai seorang kaisar, Aurelius menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari perang hingga wabah penyakit. Namun, ia mampu menghadapi semua itu dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang luar biasa.
Dalam “Meditasi”, ia sering merenungkan tentang sifat sementara dari segala sesuatu dan pentingnya fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Aurelius mengajarkan kita untuk menerima nasib dengan lapang dada dan untuk hidup sesuai dengan alam.
Sementara,
Epictetus yakni budak yang menjadi filsuf, berbeda dengan Aurelius yang lahir dalam keluarga bangsawan.
Epictetus justru dilahirkan sebagai seorang budak. Namun, keterbatasan fisik dan sosial tidak menghalanginya untuk mendalami filsafat Stoik. Setelah memperoleh kebebasan, Epictetus menjadi seorang guru filsafat yang sangat dihormati. Ajaran Epictetus berfokus pada pentingnya menerima apa yang ada di luar kendali kita dan mengendalikan apa yang ada dalam kuasa kita.
Ia sering menggunakan analogi tentang sebuah vas untuk menjelaskan konsep ini. Vas itu sendiri tidak bisa kita kendalikan, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita merespons ketika vas itu pecah. Epictetus juga menekankan pentingnya hidup sesuai dengan alam dan tidak membiarkan diri kita terikat pada hal-hal materi.
Nah, disini menarik-nya!
Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, Marcus Aurelius dan Epictetus memiliki banyak kesamaan dalam pandangan mereka tentang kehidupan. Keduanya menekankan pentingnya: penerimaan, kendali diri, virtues, dan hidup sesuai dengan alam.
Mereka sama-sama menerima apa yang ada di luar kendali mereka, bisa mengendalikan pikiran dan emosi, mengembangkan kebajikan, seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan, serta menjalani hidup selaras dengan alam semesta.
Namun,
Ada juga beberapa perbedaan dalam penekanan mereka. Aurelius lebih fokus pada peran seorang pemimpin dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat, sedangkan Epictetus lebih menekankan pada pengembangan diri dan pencapaian kebahagiaan batin.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Maksudnya, apa yang bisa kita petik.
Hal Sederhana yang Kita Lakukan Dalam Menerapkan Stoicism
Menerapkan Stoicism tidak selalu memerlukan perubahan besar dalam hidup. Bahkan, hal-hal sederhana pun dapat menjadi langkah awal menuju ketenangan dan kebijaksanaan ala Stoik. Mulailah dengan menyadari bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atas segala sesuatu. Kehilangan pekerjaan, sakit, “si paling menderita” atau perselisihan dengan orang terdekat adalah hal yang mungkin terjadi. Alih-alih terjebak dalam emosi negatif, latihlah diri untuk menerima kenyataan ini.
Selanjutnya,
Fokuslah pada apa yang benar-benar berada dalam jangkauan kita.
Pikiran, tindakan, dan reaksi kita adalah hal-hal yang dapat kita kendalikan. Ketika muncul pikiran negatif, cobalah untuk menggantinya dengan pikiran yang lebih rasional dan konstruktif. Misalnya, alih-alih merasa marah karena terjebak dalam kemacetan, syukuri waktu luang ini untuk merenung atau mendengarkan musik kesukaan.
Latihan kesadaran juga bagus banget dalam menerapkan Stoicism. Dengan fokus pada momen saat ini, kita dapat mengurangi kecemasan tentang masa depan dan penyesalan tentang masa lalu. Cobalah untuk mengamati pikiran dan perasaan kita tanpa menghakimi. Jika pikiran-pikiran negatif muncul, biarkan saja lewat tanpa terbawa arus.
Ketika menghadapi kritik,
Kita bisa mencoba untuk melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan sebagai serangan pribadi. Dengan berlatih terus-menerus, kita akan semakin mahir dalam mengendalikan emosi dan pikiran, serta menerima kenyataan apa adanya.
Selain itu, kita dapat mengembangkan sikap syukur. Dengan mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup, kita akan lebih mudah merasa puas dan bahagia. Setiap pagi, luangkan waktu sejenak untuk menyebutkan hal-hal yang kita syukuri, seperti kesehatan, keluarga, atau makanan yang kita nikmati.
Keberanian adalah nilai penting dalam Stoicism.
Ini bukan berarti kita harus selalu bertindak nekat, tetapi lebih kepada kemampuan untuk menghadapi tantangan dengan kepala tegak. Ketika dihadapkan pada situasi yang sulit, tanyakan pada diri sendiri, “Apa hal terburuk yang bisa terjadi?” Dengan cara ini, kita dapat mempersiapkan diri secara mental dan menghadapi masalah dengan lebih tenang.
Ingat-nya
Hidup sesuai dengan “apa yang alam berikan” itu khasanah dari semua ini.
Ini berarti kita harus hidup selaras dengan ritme alam dan menerima perubahan sebagai bagian alami dari kehidupan. Jika kita bisa menerima bahwa segala sesuatu bersifat sementara, kita akan lebih mudah melepaskan keterikatan pada hal-hal materi dan meraih kedamaian batin.
Nah ini akhir walau bukan yang terakhir kali, jangan lupa untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Bedah dan telanjangi bukumu, kembangkan diri dengan ‘training’, atau bergabung dengan komunitas yang memiliki minat yang sama. Dengan terus belajar, kita dapat memperluas wawasan dan menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup.
Tentu saja, ini sebuah perjalanan, bukan akhir cerita.
Jangan terlalu keras pada diri sendiri jika kita merasa kesulitan untuk mengubah kebiasaan lama. Yang penting adalah konsisten dan terus berusaha. Dengan latihan yang teratur, kita akan merasakan manfaat dari Stoicism dalam kehidupan sehari-hari, seperti peningkatan ketenangan, ikhlas, kebahagiaan, dan berdaya mental.
Sejatinya, Stoicism Mindset Itu Bukanlah Drama
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering kali terjebak dalam drama yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Cemas akan masa depan, penyesalan atas masa lalu, dan perbandingan diri dengan orang lain adalah beberapa contoh drama yang kerap kita alami. Stoicism menawarkan alternatif yang menyegarkan. Filosofi ini mengajak kita untuk fokus pada apa yang benar-benar penting dan melepaskan diri dari belenggu emosi negatif.
Stoicism bukanlah tentang “menindas perasaan kita saat ini” atau menjadi orang yang acuh tak acuh. Justru sebaliknya, Stoicism membantu kita untuk memahami emosi kita dengan lebih baik dan meresponsnya dengan cara yang lebih bijaksana.
InsyaAllah ini tidaklah sulit, tetapi membutuhkan latihan yang konsisten.
Mulailah dengan ‘Little Steps’. Jadi, jika merasa lelah dengan drama kehidupan, cobalah untuk menerapkan prinsip-prinsip ini. Dengan fokus pada apa yang ada dalam kendali kita, menerima kenyataan apa adanya, dan mengembangkan kebajikan, kita akan menemukan kedamaian batin yang selama ini kita cari.
Ingatlah, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengkhawatirkan hal-hal yang tidak dapat kita ubah. #Dyarinotescom
Salam Dyarinotescom.