Hikikomori adalah fenomena gangguan sosial yang mulanya merebak di kalangan generasi muda Jepang. Dilansir dari harian The New York Times, para dokter mulai mengobservasi hikikomori sebagai sebuah fenomena sosial sekitar pertengahan 1980-an.
Ini terjadi pada pria muda yang menunjukkan tanda-tanda kelesuan, menolak berkomunikasi dan menghabiskan banyak waktunya dengan mengurung diri seharian di rumah. Mereka menutup diri dari dunia luar, sama sekali tidak terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, dan mengisolasi diri selama lebih dari enam bulan bahkan hingga tahunan.
Di Negeri Sakura, jumlah penduduk hikikomori hingga saat ini sudah mencapai jutaan, dan jumlahnya terus bertambah. Fenomena ini pun mulai menjalar ke beberapa negara Asia lain, bahkan hingga ke benua Eropa dan Amerika.
Banyak penyebab yang melatari seseorang melakukan hikikomori. Beberapa di antara penyebabnya yaitu:
1. Keluarga
Seorang anak yang selalu di manjakan dengan semua kemauan yang terpenuhi, akan menganggap rumah sebagai tempat ternyaman, di saat remaja/dewasa dia memilih untuk tidak meninggalkan zona nyamannya di rumah.
Atau orang tua yang terlalu menganakemaskan buah hatinya, akan menjadikan anak sebagai pribadi yang selalu bergantung dan tidak ada tekad untuk maju sejak mereka masih kanak-kanak. Tidak heran ada anak yang bahkan takut/enggan untuk sekedar masuk sekolah karena merasa lebih nyaman di rumah bersama keluarganya.
2. Lingkungan sekolah
• Kerap di risak/di rundung
Bagi pencinta komik, literatur Jepang, ataupun penggila anime, pasti sudah familier dengan tema perisakan/perundungan (bullying) di Jepang. Perisakan merupakan hal yang benar-benar terjadi di dunia nyata.
Apabila seseorang sering di rundung, hingga disertai penyiksaan fisik, maka ia akan berusaha melarikan diri dari lingkungan sekolahnya.
Sering muncul kasus dari seorang hikikomori yang takut dengan kehadiran perundungnya, karena itu ia tak mau lagi bersekolah. Bagi mereka dunia akan terasa jauh lebih aman jika tidak melangkah ke luar rumah.
• Gagal dalam ujian
Jepang terkenal dengan negara yang menanamkan kompetisi sejak masa sekolah di barengi dengan standar nilai yang tinggi. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, para pelajar Jepang berusaha untuk meraih nilai terbaik agar bisa lulus.
Bukan hal asing jika seorang pelajar pulang larut karena belajar di lembaga bimbingan belajar. Terutama bagi anak-anak yang hendak menghadapi ujian kelulusan dan ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Kegagalan masuk sekolah favorit akan menjadi sumber stres dan depresi hingga menimbulkan aktivitas hikikomori. Gagal di ujian akhir juga sering di takuti hingga akhirnya seorang pelaku hikikomori tak mau lagi sekolah atau melanjutkan pendidikan.
3. Lingkungan sosial
Lingkungan pertemanan yang di rasa tidak memberi kontribusi positif juga dapat membuat seseorang lebih memilih untuk menutup dirinya dari dunia luar.
Sebagian pelaku hikikomori merasa tidak memiliki kepercayaan pada orang lain, hal ini biasanya terjadi karena adanya penolakan dan berbagai ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Semakin lama orang-orang hikikomori memisahkan diri dari masyarakat, mereka makin sadar atas kegagalan sosial yang mereka alami. Mereka kehilangan kepercayaan diri yang mereka miliki dan keluar rumah menjadi momok yang lebih menakutkan.
Bagaimana dengan kondisi di era pandemi ini?
Sejak pandemi Covid-19 merebak di seantero dunia, banyak orang memilih berdiam saja di dalam rumah untuk melindungi diri dan mencegah penyebarannya. Pandemi global ini, melahirkan hal yang serupa dengan hikikomori, tinggal di rumah saja.
Belajar di rumah, bekerja dari rumah, hingga beribadah pun cukup di rumah saja. Meski banyak persamaan antara keduanya: sama-sama harus berdiam diri di rumah, sebisa mungkin menghindari kontak dengan orang asing, bahkan orang yang di kenal sekalipun, keduanya memiliki perbedaan yang nyata.
Isolasi mandiri di masa pandemi di lakukan karena keterpaksaan. Ada kekurangikhlasan menjalani keseharian di rumah saja, menjauhi segala aktivitas di luar rumah yang selama ini menjadi rutinitas. Sementara hikikomori di lakukan secara sukarela, atas dasar kemauan dan kesadaran penuh.
Seiring berjalannya waktu, kini banyak orang yang sudah terbiasa beraktivitas di rumah saja, dan menjuluki diri mereka sendiri hikikomori karena merasa telah mengurung diri di rumah dalam waktu lama.
Padahal, seorang hikikomori yang sesungguhnya, bisa menghabiskan waktu paling tidak beberapa tahun atau malah dalam hitungan dekade berdiam diri di dalam rumah. (AAW)
Salam, Dyarinotescom
10 Comments
Ini semacam impek jg kek nya dari society, family, ujungnya nti jd mental health challenges nih. Ngeri jg dampak ke depannya kalo terus nambah, anak2 muda pula, mau gimana negaranya. Semoga pasca pandemi gak nambah banyak aja, karena dah biasa dirumah jadi keasikan gak mau keluar2 lagi
Adek temen ane ada yg gitu gan, ngurung diri terus dikamar. Keluar cm buat skolah doang, pulang lagsung dikamar.makan jg dikamar, kerjaanya ngegame, sosmed, diajak keluar gk mau, ampe pusing keluarganya jg
Biar kata gemar dunia jepang, tetep masih gagal faham sama habit gituan. Wajar sih sekali2 pengen nyendiri, tp kan hidup terus jalan, harus move on. Kayak sohib gue si Naruto diolok2 terus tetep semngat, dpt jd hokage
Terkadang kita butuh “Me Time” untuk berfikir dan memikirkan sesuatu
Ada faktor budaya jg ya. di Indo beda reason pada gitu karena keasikan ngegame baca komik tp gak sampek bebulan2 jg x
kehidupan di jepang begitu kompetitif dan keras… jadi membuat anak muda gampang stress
Apakabar orang yang mudah sakit hati ya gan? Bisa begitu juga gak ya.
bisa gan… Isolasi karena sakit hati dan patah hati
Ada tuh di Cina min yg pernah viral, cewek yg putus cinta terus ngurung diri di kamar smp 5 bulan
ooohhh, yang kamarnya penuh tumpukan sampah itu yaa??
kasian banget, putus cinta sampai segitunya.
#PutusCinta