Woy, jadi perempuan mandiri itu keren banget gak sih. Punya karir cemerlang, financial goals yang jelas, body aduhai, perawakan bidadari, dan gak perlu ngandalin siapa-siapa. Tapi, di sisi yang berbeda, banyak juga yang masih percaya jika laki-laki mapan adalah sosok idaman. “Arjuna berdasi merah!” Nah, apa yang menarik hari ini adalah, bagaimana jika ke dua tipe orang ini, ketemu dalam satu hubungan?
Siapa yang bakal jadi pemimpinnya?
Dulu, konsep hubungan itu kan sudah pasti, mendeklarasikan kaum pria menjadi tulang punggung keluarga. Tapi sekarang, banyak perempuan menolak untuk dikatakan sebagai “wanita lemah”. Mereka mau memiliki suara dan peran yang sama dalam hal apapun, termasuk dalam satu ikatan hubungan.
Nah, ini nih yang bisa menjadi pengalaman mengulik kehidupan.
Table of Contents
Toggle
Perempuan Independent vs Laki-laki Mapan
Ketika perempuan mandiri bertemu dengan laki-laki mapan, muncul denyut baru yang tidak bisa dianggap remeh, dong. Perempuan mandiri biasanya punya pemikiran yang kritis dan tidak mudah untuk diatur, apalagi dimanipulasi. Mereka tahu apa yang mereka mau dan tidak akan ragu untuk mengejarnya. Sementara itu, laki-laki mapan biasanya punya rasa percaya diri yang tinggi karena kesuksesan finansialnya, walau kepala botak, muka jelek, badan pendek, dan hidung pesek. 😁 sori bro…
Nah, gimana nih cara nge-blend dua kepriadian yang kuat ini?
Ada yang bilang 🤔, dalam ikatan yang sehat, tidak ada yang namanya “pemimpin”. Keduanya sama-sama mempunyai peran penting. Dengan dalih “Percaya untuk saling melengkapi.” Tapi, di sisi lain, dalam banyak kasus, tetap saja ada satu orang yang cenderung lebih dominan dalam mengambil keputusan.
Ayo tebak, siapa yang bakal jadi “bos”?
Siapa yang Nge-lead?
Yang jelas, tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam pertanyaan ini. Setiap pasangan memilih cara mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah. “Berbagai gaya, sah-sah saja” Yang penting adalah, keduanya merasa nyaman dan bahagia dengan kesepakatan yang mereka buat.
Jadi, siapa yang harus memimpin hubungan?
Jika dipaksa untuk menjawab yaitu: tentu saja, yang paling siap dan paling cocok untuk peran tersebut. Urusan dapur, tentu orang yang bisa masak dong, paling baik untuk memimpin.
Artinya:
Kepemimpinan dalam hubungan tidak selalu statis. Terlepas dari gender atau status sosial, yang terpenting adalah komunikasi yang terbuka dan saling menghargai. Bisa saja itu bergantian, misalnya, tergantung situasi dan kondisi. Misal, salah satu pasangan lebih bijak mengambil keputusan besar, sementara di waktu lain, pasangan lainnya lebih baik dalam mengelola keseharian.
Mengapa Kepemimpinan Tidak Selalu Statis?
1. Kekuatan dan Kelemahan yang Berbeda
Setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan yang unik. Mungkin pasanganmu lebih ahli dalam mengatur keuangan, sementara kamu lebih piawai dalam memecahkan masalah emosional. Ini adalah hal yang sangat lumrah dalam setiap hubungan. Keberagaman ini justru menjadi kekuatan tersendiri, karena memungkinkan pasangan saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
2. Situasi yang Berubah
Kehidupan penuh dengan perubahan. Ada kalanya kamu sedang sibuk dengan pekerjaan yang mendesak, sehingga pasanganmu perlu mengambil alih beberapa tanggung jawab di rumah. Ini adalah hal yang sangat wajar terjadi dalam setiap hubungan. Fleksibilitas dan saling mendukung adalah kunci untuk melewati masa-masa seperti ini.
3. Pertumbuhan Pribadi
Seiring berjalannya waktu, kita semua terus belajar dan berkembang. Keterampilan kepemimpinan dalam hubungan pun bisa terus diasah dan ditingkatkan. Sebagai individu, kita mengalami pertumbuhan pribadi yang terus-menerus. Kita belajar dari pengalaman, menghadapi tantangan, dan mengembangkan perspektif baru. Pertumbuhan pribadi ini secara otomatis akan memengaruhi cara kita berinteraksi.
Jadi, POV-nya:
Komunikasi Terbuka
Jadi, siapa yang memimpin? Jawabannya adalah: Keduanya.
Dalam hubungan yang sehat, kedua pasangan berperan sebagai pemimpin dan pengikut, tergantung pada sikon. Yang terpenting adalah, kita bisa bekerja sama sebagai tim untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi yang terbuka dan saling menghormati adalah basis dari setiap hubungan yang sehat.
Dengan berkomunikasi, kita bisa:
1. Mengerti kebutuhan satu sama lain
“Aku mengerti.” Ketika kita saling terbuka, kita tidak hanya sekadar menyampaikan apa yang kita inginkan, tetapi juga mencoba memahami perspektif pasangan, dan mencegah terjadinya kesalahpahaman. Ini berarti mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela atau menghakimi. Dengan memahami sudut pandang pasangan, kita bisa lebih empati dan mencari solusi yang tidak hanya menguntungkan kita, tetapi juga memenuhi kebutuhan bersama.
2. Memecahkan masalah bersama
Ribut dengan pasangan itu adalah hal biasa dan sering terjadi, tapi jangan sampai membuat hubungan menjadi “drama panjang”. Dengan komunikasi yang asyik dan saling menghargai, masalah bisa diselesaikan dengan bijak. Daripada saling nyeleneh dan saling menyalahkan, mendingan cari solusi yang membuat keduanya senang.
3. Membangun kepercayaan
Ini demi membangun kepercayaan yang kuat dan tahan lama. Komunikasi yang jujur dan terbuka adalah selimut dari setiap hubungan sehat, karena memungkinkan kita untuk saling memahami dan menghargai secara lebih mendalam. Dengan begitu, kita bisa melewati segala rintangan.
Tapi,
Yang perlu dipertimbangkan
Kepemimpinan dalam hubungan adalah tentang kerjasama, saling menghormati, dan menemukan keseimbangan yang tepat. Tidak ada rumus pasti untuk mencapai hal ini, tetapi dengan komunikasi yang baik dan saling pengertian, bisa membangun hubungan yang kuat dan langgeng.
Pertimbangkan:
1. Nilai-nilai yang dianut
Nilai-nilai yang dianut seseorang menjadi kompas dalam bertindak. Ketika pasangan memiliki pemahaman yang sama egaliter (sederajat), tentang kesetaraan gender, mereka akan secara alami cenderung berperilaku sejalan dengan nilai tersebut, sehingga hubungan yang dibangun pun tidak seperti menginjak-injak, tidak seimbang, lebih setara, dan mengandung rasa keadilan.
2. Dinamika Hidup
Inilah dinamika hidup. Mungkin saja, dalam beberapa hubungan, salah satu pasangan memiliki lebih banyak power, misalnya, karena faktor-faktor, seperti: status sosial, perbedaan usia, latar belakang pendidikan, atau bahkan pengalaman hidup yang lebih luas dapat memberikan satu pihak lebih banyak pengaruh dibandingkan yang lain.
Ketidakseimbangan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pengambilan keputusan hingga pembagian tugas rumah tangga. Meskipun tidak selalu negatif, penting untuk menyadari adanya dinamika ini agar kita dapat memaklumi.
3. Preferensi
Setiap orang memiliki preferensi yang berbeda tentang bagaimana mereka ingin hubungan mereka berjalan. Walaupun kamu Perempuan independen, dan ia Laki-laki mapan, penting untuk diingat bahwa label-label ini tidak menentukan bagaimana hubungan kalian akan terus berjalan atau berhenti di perempatan.
Bicaralah “apa maumu?” dan “pahamilah apa maksudku!” adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dan bahagia, terlepas dari latar belakang atau status sosial kalian berdua.
Aku, Perempuan Independent, Dan Kamu Laki-laki Mapan, Jadi?
kita bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Kamu dengan kematanganmu, dan aku dengan semangat independenku. Yang terpenting adalah kita bisa saling tumbuh dan tua bersama.
Jangan biarkan label “Perempuan Independen” dan “Laki-laki Mapan” membatasi potensi kita. Kita bisa menjadi “Mr. and Mrs. Smith” yang lebih baik dari cerita, dan tentu saja, saling mendukung dan menginspirasi, di manapun kita berada. Jangan lupa berkabar yaa 😁…
Salam Dyarinotescom.