Ibukota, sebuah kata yang sarat makna. Lebih dari sekadar kota, ia adalah simbol identitas, pusat pemerintahan, jantung ekonomi, dan denyut nadi sebuah negara. Namun, bagaikan kisah pilu, terbayangkah bila sebuah ibukota harus merelakan statusnya? Ibukota kehilangan status: disenyumin ajah lah yaa.
Sejarah mencatat ada beberapa ibukota yang kehilangan status. “Koreksi jika keliru”, pada tahun 1949, Nanjing, yang telah menjadi ibukota Republik Tiongkok selama lebih dari satu dekade, direbut oleh pasukan komunis. Statusnya tergantikan oleh Beijing, menandai babak baru dalam sejarah Tiongkok.
Di benua Afrika, kisah serupa menimpa Pretoria, yang kehilangan status ibukota Afrika Selatan di tahun 1994. Singkat cerita, Johannesburg dengan denyut ekonomi yang lebih kuat, mengambil alih peran sentralnya.
Ibukota Kehilangan Status
Mengapa hal ini bisa terjadi? Alasannya beragam, bagaikan benang kusut yang saling terkait. Pertama, berdalih karena: “Kebutuhan untuk menyeimbangkan pembangunan”. Seringkali, ibukota terbebani oleh kepadatan penduduk, kemacetan kronis, dan polusi yang tak terkendali. Pemindahan ibukota menjadi solusi untuk meringankan beban dan mendorong pemerataan pembangunan di wilayah lain.
Kedua, faktor politik dan sejarah. Perpecahan negara, penaklukan, dan penjajahan dapat menjadi alasan utama hilangnya status ibukota. Ketiga, bencana alam atau krisis ekonomi yang berkepanjangan dapat memaksa sebuah negara untuk memindahkan pusat pemerintahannya. Keempat, pemerintahan yang berkuasa hanya ingin membuat gebrakan baru agar terlihat hasil kerjanya dengan cepat.
Dampaknya bagaikan badai yang menerjang. Hilangnya status ibukota dapat memicu krisis ekonomi di kota lama. Hilangnya lapangan pekerjaan, investasi yang meredup, dan eksodus penduduk menjadi kenyataan pahit yang harus di hadapi. Di sisi yang berbeda, ibukota baru di hadapkan pada tantangan besar untuk membangun infrastruktur, menarik investasi, dan menciptakan identitasnya sendiri.
Disenyumin Ajah Lah Yaa
Namun, di balik luka, selalu ada harapan. Oleh karena itu di senyumin ajah lah yaa. Mengatasi krisis ini membutuhkan kebijakan yang matang dan kerjasama semua pihak. Banyak langkah yang dapat di ambil, seperti: Perencanaan yang Matang agar rasanya manis. Itu pun misalnya.
Menyusun rencana pembangunan jangka panjang yang komprehensif untuk kota lama dan ibukota baru sangat penting om. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan juga penting paman. Maksudnya untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana. #JanganTakut. #JanganBimbang. #AdaBambang.
Langkah Diversifikasi Ekonomi juga baik. Kami di sini tahulah, orang di sana itu: “kerja, kerja, dan kerja”. Diversifikasi Ekonomi dilakukan dalam rangka mengembangkan sektor ekonomi baru di kota lama, seperti: sektor pariwisata, budaya, dan industri kreatif. Memberikan insentif bagi investor untuk berinvestasi di kota lama. Mendorong kewirausahaan dan UMKM agar semakin berkembang.
Bisa juga dengan Preservasi Budaya. Melestarikan budaya dan sejarah kota lama melalui program edukasi, pelestarian situs bersejarah, dan festival budaya. Mempromosikan wisata budaya di kota lama untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
Kata Mereka, “Jangan Kamu Ajari Kami”.
“Jangan kamu ajari kami yang terbiasa mengelola sebuah ibukota”, jawab mereka. Jika sudah begitu, senyum terus lama-lama gila neeh rakyat. Mengelola sebuah ibukota bagaikan merawat sebuah taman, tante. Di butuhkan kebijaksanaan, ketelatenan, dan kerjasama untuk menjaga keseimbangan, keindahan, dan kejayaannya.
Beberapa catatan penting yang kami dapatkan dari Havard Universiti, misalnya: Pertimbangan Keadilan dan Keseimbangan. Pembangunan ibukota baru tidak boleh mengabaikan pembangunan daerah lain. “Jika sudah di lakukan itu sudah baik”. Perlu ada upaya untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di seluruh wilayah negara.
Ini semua karena kami ingin satu kepastian, yaitu Keberlanjutan pembangunan. Pembangunan ibukota harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Penggunaan energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan harus juga di prioritaskan. Sayang sekali jika kajian-kajian itu (yang sudah disusun) di buang ketempat sampah.
Langkah-langkah Transparansi dan Akuntabilitas perlu di jaga bagai hidung dan udara. Proses pembangunan ibukota harus transparan dan akuntabel kepada masyarakat. Perlu ada pengawasan yang ketat untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan dana.
Jadi Apa Maksudnya?
Kisah ibukota yang kehilangan statusnya bagaikan kepala kita dengan dua sisi yang berbeda. Berada di posisi atas sebagai identitas tapi tidak memilki muka. Di satu sisi yaitu bagian belakang, ia adalah rambut yang akan rontok jika tidak kamu rawat. Di sisi lain, ia adalah muka sebagai representasi dari siapa kamu. Laki atau perempuan, atau di antara keduanya.
Okey, ada datu sisi lagi yang tidak kita hitung, yaitu sisi telinga. Telinga itu mendengar dan menerima. Dan siapa pun yang mau mendengar dapat menyisihkan coretan kebijakan yang tepat dan kerjasama semua pihak, agar: “Muka tetap sama dan harapan baru dapat terbit”. Intinya, jika sudah kebelet, lanjutkan saja kawan.
Salam Dyarinotescom.