De-influencing: Akhir dari Era Influencer. Muak dengan Drama?

  • Post author:
  • Post category:Marketing
  • Post last modified:Februari 6, 2025
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing De-influencing: Akhir dari Era Influencer. Muak dengan Drama?

Di era ‘kesemrawutan’ digital yang penuh dengan tipu daya, kita di bombardir oleh iklan setiap kedipan mata. Endorsement selebriti, ulasan produk yang ‘glowing’, hingga giveaway menggiurkan, semuanya berlomba-lomba menarik perhatian seolah kitalah pemenangnya. Namun, semua selesai karena banyak orang merasa muak dengan semua drama ini. Sepertinya hidup ini, hanya berkisar pada ‘produk dan promosi’ yang tak ada habisnya. Gelombang “de-influencing” pun membakar dunia maya, menjadi anti-tesis dari budaya influencer yang selama ini kita kenal.

 

Dulu, ‘Mereka’ para influencer seperti raja dan ratu di media sosial. Mereka memiliki kekuatan ‘pengaruh’ untuk membuat produk apapun laku keras dalam sekejap. Tapi, kekuatan itu kini mulai memudar. “Semenjak mereka kenal mulyono, canda-nya😁”…

Kita, konsumen semakin cerdas dan kritis. Tidak lagi percaya begitu saja dengan semua yang di katakan oleh influencer. Mulai mencari informasi dari dunia berbeda, membandingkan produk, membaca ulasan dari beberapa pengguna, dan mengetahui mana komentar-komentar yang berperan sebagai buzzer.

Tibalah era “de-influencing”, di mana konsumen lebih percaya pada suara hati sendiri daripada bujuk rayu para ‘botol kosong’ dengan ‘patwal’ di depan.

🤔Jadi heran,

 

Sejak Kapan De-influencing Muncul?

Meskipun sulit untuk menentukan waktu “kapan de-influencing pertama kali muncul?”, fenomena ini mulai mendapatkan perhatian luas. Mungkin sekitar tahun 2020. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kemunculan de-influencing terinspirasi dari beauty influencer bernama Maddie Wells di platform TikTok.

Wells membuat konten yang mengungkap produk-produk yang sering di kembalikan oleh pelanggan karena tidak sesuai harapan.

Seiring berjalannya waktu, de-influencing tidak lagi terbatas pada produk kecantikan. Tren ini berkembang pesat dan mencakup berbagai bidang, seperti fashion, makanan, teknologi, hingga gaya hidup. Konten de-influencing pun semakin beragam, mulai dari ulasan jujur tentang produk, kritik terhadap iklan yang menyesatkan, hingga ajakan untuk lebih bijak dalam berbelanja.

Tahun demi tahun berlalu, membuat ‘de-influencing’ menjadi sebuah judul satu gerakan.

 

Ini Terjadi Karena

Dulu, kita membeli sesuatu karena influencer bilang “ini bagus lho, itu keren banget!”. Sekarang, muka buruk telah terbuka. Mereka terlihat bagai badut-badut yang kehilangan pemirsa di rumah. Follower muak dengan iklan atau apapun yang mereka jual, lebih ingin memilih dan mencari kebenaran sejati di depan mata.

Masyarakat kini tidak lagi butuh validasi dari influencer untuk menentukan pilihan. Toh, mereka bukan siapa-siapa, hanya aktor bayaran dengan segudang drama dan polesan. “Akhirnya kita bebas dari segala bentuk pembodohan.”

Dan jujur saja, yang mendorong De-influencing itu, karena:

 

1. Kami Benar-Benar Kecewa

Kami, si konsumen semakin jenuh dengan taktik pemasaran influencer yang terkesan berlebihan dan kurang jujur. Banyak dari mereka yang merasa tertipu oleh promosi yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Ulasan yang tidak jujur dan promosi yang berlebihan membuat konsumen merasa tidak percaya lagi pada influencer.

 

2. Banyak belajar dari Kebodohan

Konsumen saat ini lebih cerdas dan sadar akan hak mereka. Mereka tidak lagi mudah percaya begitu saja dengan apa yang di katakan influencer. Mereka lebih suka mencari informasi dari berbagai sumber sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Konsumen yang kritis ini lebih percaya pada ulasan dari sesama konsumen daripada iklan dari influencer.

 

3. Ini Sudah Tidak Penting Lagi

Tren “De-influencing” juga didorong oleh perubahan nilai konsumsi masyarakat. Masyarakat mulai lebih peduli pada keberlanjutan, etika, dan dampak sosial dari produk yang mereka beli. Mereka tidak lagi tertarik hanya pada popularitas atau merek tertentu. Konsumen yang sadar akan isu-isu ini lebih memilih untuk mendukung merek yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan mereka.

 

4. Pergi Hey Kamu, Si Tukang Bohong!

Di era ‘buka-brankas’, konsumen membutuhkan informasi yang jujur dan transparan. Mereka ingin tahu apa yang sebenarnya mereka beli, bukan hanya apa yang dikatakan influencer. Tren “De-influencing” muncul sebagai respons terhadap kebutuhan ini. Konsumen mencari ulasan dan informasi yang jujur dari sesama konsumen sebelum membuat keputusan pembelian.

 

5. Kami Menemukan Titik Terang

Selain influencer, ada banyak sumber informasi lain yang lebih terpercaya, seperti ulasan dari sesama konsumen, memastikan bahwa banyak sekali buzer di kolom komentar, artikel dari media yang kredibel “Dyarinotescom, misalnya😂”, dan rekomendasi dari teman atau keluarga. Konsumen lebih percaya pada sumber-sumber ini daripada influencer yang seringkali dianggap hanya ingin mencari keuntungan.

 

Beberapa Kasus Tentang De-influencing Yang Pernah Terjadi

Banyak kasus menunjukkan bahwa de-influencing bisa terjadi dalam berbagai industri, mulai dari kecantikan, jasa layanan, fashion, makanan, hingga gaya hidup. De-influencing juga bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk dari influencer yang mencari muka, hingga pengguna media sosial biasa.

Misalkan saja, terjadi pada:

 

1. Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan

Seorang beauty vlogger yang terkenal dengan ulasan jujurnya, memutuskan untuk membuat video de-influencing tentang produk kecantikan yang ternyata tidak sesuai dengan klaimnya. Dalam video tersebut, ia menjelaskan dengan detail mengapa produk tersebut tidak efektif dan memberikan alternatif yang lebih baik. Video ini pun viral dan mendapatkan banyak dukungan dari penonton yang merasa terbantu dengan ulasan jujurnya.

 

2. Pengalaman Buruk dengan Jasa Layanan

Seorang pengguna media sosial menceritakan pengalaman buruknya menggunakan jasa layanan online. Ia merasa sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan dan memutuskan untuk membuat video de-influencing di TikTok. Dalam video tersebut, ia menceritakan dengan detail apa saja yang membuatnya kecewa dan memberikan tips agar orang lain tidak mengalami hal yang sama. Video ini pun viral dan membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum menggunakan jasa layanan tersebut.

 

3. Kampanye De-influencing untuk Produk Fashion

Sebuah merek fashion ternama приглашает beberapa influencer untuk membuat video de-influencing tentang produk mereka. Dalam video tersebut, para influencer menceritakan tentang kekurangan produk tersebut dan memberikan saran agar merek tersebut bisa улучшить kualitasnya. Kampanye ini pun mendapatkan banyak perhatian dari publik dan dianggap sebagai langkah yang berani dan inovatif.

 

4. De-influencing dalam Industri Makanan

Seorang food blogger terkenal membuat video de-influencing tentang sebuah restoran yang ia kunjungi. Dalam video tersebut, ia menceritakan tentang pengalaman buruknya makan di restoran tersebut dan memberikan kritik yang membangun agar restoran tersebut bisa memperbaiki kualitas makanan dan pelayanannya. Video ini pun viral dan membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum makan di restoran tersebut.

 

5. De-influencing untuk Gaya Hidup Konsumtif

Seorang lifestyle influencer yang sebelumnya sering mempromosikan gaya hidup mewah, tiba-tiba membuat video de-influencing tentang gaya hidup minimalis. Dalam video tersebut, ia menceritakan tentang pengalamannya hidup dengan gaya hidup minimalis dan mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya. Video ini pun mendapatkan banyak perhatian dari publik dan dianggap sebagai inspirasi untuk hidup yang lebih sederhana dan bermakna.

Lalu, apakah:

 

Menurut Undang-Undang De-influencing Itu Di perbolehkan?

Secara umum, aktivitas de-influencing tidak secara eksplisit di atur dalam undang-undang di Indonesia. Namun, terdapat beberapa peraturan yang dapat menjadi acuan dalam menilai legalitas praktik ini. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur mengenai suatu produk atau jasa.

Dalam konteks ini, de-influencing dapat dianggap sebagai bentuk penyampaian informasi oleh konsumen mengenai pengalaman mereka terhadap suatu produk atau jasa. Selama informasi yang di sampaikan bersifat benar dan tidak menyesatkan, aktivitas ini pada dasarnya tidak melanggar UU PK.

Tapi,

Lebih lanjut, Jika aktivitas de-influencing mengandung unsur pencemaran nama baik, seperti menyebarkan informasi bohong atau fitnah, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga mengatur tentang larangan penyebaran informasi yang tidak benar dan menyesatkan melalui media elektronik.

Belum lagi,

Dalam konteks persaingan usaha, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) juga relevan dalam menilai legalitas de-influencing.

Catat-nya: Batasan antara kebebasan berekspresi dan potensi pelanggaran hukum dalam aktivitas de-influencing dapat menjadi abu-abu. Oleh karena itu, pelaku de-influencing dan pihak yang merasa di rugikan perlu memahami batasan-batasan hukum yang berlaku.

 

Bagaimana Akhir Dari Cerita De-influencing

Gelombang de-influencing ini menjadi signal bahwa konsumen semakin obyektif.

Era influencer mungkin tidak akan berakhir sepenuhnya, namun akan bertransformasi menjadi era di mana influencer yang kredibel dan relevan, dengan audiens mereka yang bodoh akan bertahan. Sebuah evolusi alami dalam dunia pemasaran di mana, konsumen memiliki hak untuk menentukan pilihan, dan menyuarakan pendapat mereka.

Pada akhirnya, De-influencing adalah pengingat bahwa kepercayaan tidak bisa di beli, tetapi harus di raih. Ini tentang mengembalikan kekuatan, kemampuan untuk membedakan antara fakta dan opini ke tangan kita, konsumen.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan