Pernah gak kamu merasa ada sesuatu yang janggal? Kamu datang ke sebuah acara, semangat 45 ini ceritanya, berharap menemukan pencerahan atau bahkan jalan ninjamu, tapi ujung-ujungnya cuma dapat secangkir kopi dan selembar brosur yang akhirnya nyangkut di laci? Atau, kamu ikut sebuah kegiatan, sibuk dari pagi sampai sore, tapi setelah itu bingung sendiri, “Tadi tuh gunanya buat apa, ya?” Kalau jawabanmu “iya,” berarti benar apa yang di maksud ‘Pak Ketua’. Dunia ini penuh dengan agenda-agenda yang kelihatannya sibuk, tapi sebenarnya cuma “cosplay” kesibukan semata. Cuma formalitas doang!
Nggek…
Kita seringkali terjebak dalam pusaran aktivitas yang seolah-olah penting, padahal di baliknya, ada motif-motif tersembunyi yang cuma demi memenuhi KPI (Key Performance Indicator) atau bahkan sekadar “cuci mata” anggaran.
Dari seminar megah yang isinya cuma motivator omong kosong, sampai rapat maraton yang putusannya sudah di putuskan dari awal, semuanya terasa seperti teater boneka. Nah, salah satu yang paling sering jadi sorotan adalah job fair. Kita berangkat dengan harapan setinggi langit, resume sudah on point, pakaian rapi jali, tapi yang ada cuma tumpukan antrean panjang, stand yang sepi, dan janji-janji manis yang menguap begitu saja.
Dari Job Fair Hingga 8 Acara Lain yang Bikin Geleng-Geleng
Bicara soal formalitas, tentu saja job fair, misalnya, memang seringkali jadi poster child-nya. Kita lihat di media sosial atau baliho besar, promo acaranya sangat menggiurkan: “Ribuan Lowongan!” “Kesempatan Emas!” Tapi, kenyataannya, banyak yang pulang dengan tangan kosong dan rasa kecewa yang mengganjal di dada. Lowongan yang tersedia seringkali itu-itu saja, atau malah sudah diisi jauh sebelum acara dimulai.
Tapi! jangan salah, adinda.
Job fair cuma salah satu dari banyaknya kegiatan lain yang seringkali “cuma formalitas doang.” Negeri ini kebanyak basa-basi kali yaa. Kita sering menemukan diri di tengah-tengah acara-acara serupa yang membuatmu bertanya, “Ini actually buat apa sih?”
Mari kita bongkar satu per satu, kegiatan-kegiatan yang seringkali menguras waktu, tenaga, dan terkadang dompetmu, tapi hasilnya nihil. Bersiaplah untuk “geleng-geleng” kepala, karena mungkin beberapa di antaranya sering kamu alami sendiri.
Di Balik Job Fair dan Acara “Pura-Pura” Lainnya. Siasat Formalitas?
Mungkin kamu bertanya-tanya, “Kenapa sih acara-acara ini tetap diadakan kalau cuma formalitas?”
Jawabannya tentu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Bisa saja itu memang harus!, Mulai dari tuntutan birokrasi, pencitraan, hingga “pengaman” anggaran. Kadang, ada agenda tersembunyi yang cuma bisa dipahami oleh mereka yang ada di lingkaran dalam.
Nah, kita kupas tuntas beberapa kegiatan yang seringkali cuma jadi gimmick tanpa esensi, misalnya:
1. Job Fair: “Lowongan Gaib” dan Antrean Tak Berujung
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, kamu pasti sudah familiar dengan ini. Digaungkan sebagai jembatan antara pencari kerja dan perusahaan, namun seringkali yang terjadi adalah penumpukan CV tanpa follow-up, lowongan yang tidak relevan, atau malah perusahaan yang membuka stand hanya untuk “meramaikan” acara tanpa niat serius merekrut.
Seakan-akan, ini hanya panggung bagi penyelenggara untuk unjuk gigi.
2. Rapat Koordinasi: “Ngumpul Doang” Berjam-Jam Tanpa Solusi
Dari tingkat paling bawah sampai paling atas, rapat koordinasi adalah ritual wajib.
Tapi, berapa banyak rapat yang benar-benar menghasilkan keputusan konkret dan solusi efektif? Seringnya, rapat ini jadi ajang “cuci tangan,” lempar tanggung jawab, atau sekadar memenuhi daftar hadir tanpa ada urgensi yang jelas.
3. Seminar/Workshop: “E-Sertifikat Only” Tanpa Implementasi
Di gembar-gemborkan dengan pembicara keren dan topik kekinian, namun setelah seharian duduk manis, yang kita bawa pulang hanyalah sertifikat yang bisa di cetak sendiri dan insight yang sudah basi. Materi yang di sampaikan seringkali terlalu umum, minim praktik, dan tidak ada tindak lanjut yang jelas untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat.
4. Studi Banding/Kunjungan Kerja: “Jalan-Jalan Berkedok Riset”
Istilah kerennya adalah “benchmarking,” padahal di lapangan, seringkali jadi ajang refreshing berkedok riset. Pantes negara ini gak maju-maju!
Anggota tim sibuk foto-foto di destinasi wisata, sementara esensi dari studi banding, yaitu belajar dan mengadopsi praktik terbaik, seringkali terabaikan. Pulang-pulang, laporan yang di susun cuma hasil “copy-paste” dari internet. Satu hitungan dosa bagi para aparatur.
5. Pelatihan Internal: “Refresh Doang” Tanpa Peningkatan Skill Signifikan
Perusahaan atau institusi sering mengadakan pelatihan berkala. Namun, apakah pelatihan tersebut benar-benar meningkatkan kompetensi karyawan?
Kadang, materinya itu-itu saja, metode penyampaiannya membosankan, dan tidak ada evaluasi berkelanjutan untuk memastikan skill yang didapat benar-benar terimplementasi dalam pekerjaan sehari-hari.
6. Upacara Bendera/Apel Pagi: “Absensi Wajib” Tanpa Makna
Ritual mingguan atau bulanan yang seringkali dianggap remeh.
Meski memiliki nilai historis dan kebangsaan, di banyak instansi, upacara ini kadang hanya jadi rutinitas belaka. Karyawan atau siswa datang karena wajib, tanpa benar-benar meresapi makna di baliknya. Fokusnya lebih pada kehadiran fisik daripada refleksi nilai, pemahaman dan makna dari kebangsaan itu sendiri.
7. Acara Farewell/Purna Tugas: “Tukar Kado” dan Pidato Klise
Ketika ada rekan kerja yang pensiun atau pindah, biasanya di adakan acara perpisahan.
Meski niatnya baik, seringkali acara ini jadi monoton, hanya berisi pidato pujian yang itu-itu saja, tukar kado, dan sesi foto. Esensi kebersamaan dan ucapan terima kasih yang tulus seringkali tenggelam dalam formalitas.
8. Penggalangan Dana Amal: “Konten Medsos” Tanpa Transparansi Dana
Niatnya mulia, mengumpulkan dana untuk yang membutuhkan.
Tapi, sekali lagi seringkali acara ini lebih banyak jadi ajang pencitraan dan branding di media sosial. Transparansi penggunaan dana kadang dipertanyakan, dan fokusnya lebih pada seberapa “viral” acara tersebut daripada seberapa besar dampak nyata yang di berikan kepada penerima bantuan.
9. Kunjungan “Inspeksi”: “Show Off” Saat Di kunjungi, Kendor Saat Tak Terlihat
Ketika ada kunjungan dari pejabat atau atasan, semua langsung sibuk “bersih-bersih” dan “merapikan” segalanya. Semuanya terlihat sempurna!
Tapi, setelah kunjungan selesai, kembali ke mode semula. Benar-benar menggelikan. Ini adalah formalitas klasik yang sering terjadi di banyak instansi, di mana kinerja sebenarnya tersembunyi di balik polesan sementara.
Ilusi Kesibukan? Saat Formalitas Jadi Prioritas
Menurut pengamat di ‘Kopi Jona’, Mbak Maya, misalnya, fenomena “formalitas doang” ini bukanlah hal baru. “Ini adalah refleksi dari budaya kerja yang berorientasi pada proses, bukan hasil,” ujarnya. “Banyak organisasi yang masih terjebak dalam paradigma ‘kalau sibuk berarti produktif,’ padahal sibuk belum tentu efektif.”
Ia menambahkan bahwa formalitas ini seringkali menjadi tameng bagi pihak-pihak tertentu untuk menunjukkan adanya aktivitas, terlepas dari apakah aktivitas tersebut benar-benar memberikan nilai tambah atau tidak.
Lebih lanjut, Mbak Maya menjelaskan bahwa obsesi terhadap KPI seringkali menjadi pemicu utama. “Ketika KPI hanya diukur dari jumlah kegiatan atau anggaran yang terserap, maka wajar jika banyak pihak yang berlomba-lomba mengadakan acara, tanpa terlalu memikirkan kualitas atau dampaknya,” katanya.
Al-hasil: kita sering melihat kegiatan-kegiatan yang “sudah di setujui, tinggal jalankan,” tanpa ada evaluasi mendalam mengenai relevansi dan urgensinya.
Masyarakat pun, secara tidak langsung, turut berkontribusi pada siklus formalitas ini. 😂…
Ketika kita terbiasa dengan “seremoni” dan tidak menuntut hasil yang konkret, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab akan merasa nyaman dengan pola tersebut. “Perlu ada perubahan mentalitas, baik dari penyelenggara maupun peserta, agar kita bisa membedakan mana kegiatan yang substansial dan mana yang hanya buang-buang waktu,” tegas Mbak Maya.
Jebakan Formalitas di Berbagai Kegiatan. Cair Anggaran?
Jadi, setelah kita bongkar satu per satu, jelas ya, bahwa banyak kegiatan di sekitar kita yang sebenarnya cuma formalitas. Dari job fair yang bikin kamu ngerasa di-PHP, sampai rapat yang cuma jadi ajang “kumpul-kumpul,” semua itu adalah bagian dari jebakan formalitas yang seringkali kita alami.
Yaa harap maklum saja, ada banyak faktor yang melatarbelakangi, mulai dari tuntutan administratif hingga upaya “melicinkan” aliran anggaran.
Dan…
Bukan rahasia lagi, banyak kegiatan yang di adakan semata-mata agar anggaran yang sudah di alokasikan bisa “cair.” 💦 “Budget harus habis!” seringkali menjadi mantra tersembunyi di balik gemerlapnya acara-acara formalitas ini.
Dampaknya?
Tentu saja pemborosan sumber daya, baik itu waktu, tenaga, maupun uang, yang seharusnya bisa di alokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat bagi banyak orang.
Maka dari itu:
Penting bagi kita untuk lebih kritis dan tidak mudah terlena dengan “ilusi kesibukan.” Jangan sampai waktu dan energimu terbuang sia-sia untuk kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah.
Ingat-nya: Waktu adalah aset paling berharga. Jangan biarkan ia terbuang hanya untuk memenuhi agenda formalitas. Mari kita lebih jeli dalam memilih mana yang perlu di ikuti dan mana yang sebaiknya di hindari.
Salam Dyarinotescom.