Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa ada orang yang rela berkorban demi orang lain tanpa mengharapkan imbalan? Mengapa kita tergerak untuk membantu sesama, bahkan ketika kita sendiri sedang kesulitan? Fenomena ini dikenal sebagai altruisme, sebuah konsep yang telah memikat perhatian para filsuf, psikolog, dan pemerhati termasuk kami, selama bertahun-tahun.
Altruisme seringkali dianggap sebagai tindakan yang mulia dan terpuji. “Kamu baik banget ☺️” Namun, pertanyaan awam dari kita tetap saja muncul: apakah sifat altruistik ini merupakan bawaan lahir, sebuah insting yang tertanam dalam diri manusia sejak dalam kandungan? Atau, apakah sifat ini adalah hasil dari banyak belajar dan pengaruh lingkungan?
Jadi Kepo Neeh🤔…
Insting Kebaikan atau Hasil Pembelajaran?
Beberapa orang yang “ngakunya ahli” berpendapat bahwa altruisme adalah sebuah insting yang telah berevolusi seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Mereka berargumen bahwa tindakan membantu orang lain dapat meningkatkan peluang kelangsungan hidup spesies di Bumi.
Dengan kata lain, naluri untuk berbuat baik adalah kunci keberlangsungan peradaban manusia.
Bukan hanya itu saja, kata mereka, ada juga yang meyakini bahwa altruisme adalah hasil dari pembelajaran dan pengaruh lingkungan. Anak-anak, misalnya, belajar untuk berbagi dan berempati melalui interaksi dengan orang tua, para guru, dan teman-teman. Nilai-nilai moral dan sosial yang diajarkan sejak dini dapat dengan mudah masuk dan membentuk perilaku altruistik (peduli) seseorang di masa depan.
Yang jarang kita temui di TikTok yaa😁…
Apa Saja Yang Mempengaruhi?
Selain insting dan pembelajaran, ada segudang pendorong yang bisa membuat seseorang jadi ‘superhero tanpa kancut merah’.
Banar! Salah satunya adalah empati. Bayangkan saja, kita seperti punya radar antena yang bisa menangkap perasaan orang lain. Ups, kita bisa merasakan apa yang dirasakan teman kita jika lagi sedih, gak punya duit, putus cinta, atau kesusahan lainnya.
Yaa, secara otomatis kita bakal terdorong untuk membantu.
Selain itu, norma sosial juga punya peran. Kita semua hidup di masyarakat, kan? Nah, di setiap ‘koloni di masyarakat’ pasti ada aturan main sendiri-sendiri, termasuk soal apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Jika dari kecil kita diajarkan untuk saling tolong menolong, ya besarnya kita tentu saja lebih ringan dalam berbuat baik.
Terus, jangan lupa dengan apa yang diajarkan agama kepada kita. Islam, misalnya, mengajarkan nilai-nilai seperti: baik dan dosa, kasih sayang, toleransi, dan pengorbanan. Nilai-nilai ini bisa jadi motivasi kuat bagi kita untuk berbuat baik, bahkan tanpa pamrih dari orang yang kita tolong. Hanya mengharapkan keberkahan dan ‘Pahala’.
Dan,
Semua ini bisa terjadi karena: kita pernah mengalaminya sendiri. Pengalaman pribadi adalah alarm pengingat kita sebagai manusia, mahluk sosial. Pernah mengalami kesulitan sendiri? Pasti tahu kan rasanya membutuhkan pertolongan. Nah, pengalaman seperti ini, bisa membuat kita lebih peka terhadap penderitaan orang lain, dan dapat mendorong kita berbuat sebaliknya yaitu dengan membantu mereka.
Dalam perspektif lainnya bagaimana?
Altruisme dalam Perspektif Evolusi
Dari sudut pandang evolusi, altruisme memang terdengar seperti sebuah hal yang ribet dan membingungkan. Jika kita mengikuti teori evolusi klasik, misalnya, yaitu: “yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan tersingkir”. Lantas, mengapa ada manusia yang rela berkorban demi orang lain, bahkan sampai mengorbankan diri sendiri?
Bukankah ini bertentangan dengan prinsip dasar survival of the fittest?
Wait, salah satu penjelasan yang paling populer untuk fenomena ini adalah teori seleksi kerabat (kin selection). Sederhananya, teori ini mengatakan jika kita lebih cenderung membantu orang yang secara genetik ‘dekat’ dengan kita. Misal: saudara kandung, orang tua, atau anak.
Kenapa? Karena kita memiliki kesamaan gen dengan mereka.
Jadi, dengan membantu kerabat, secara tidak langsung kita juga membantu menghidupkan keberlangsungan ‘benang darah’ ke generasi berikutnya. Ini seperti sebuah investasi tapi dalam hal genetika, dengan membantu kelangsungan hidup kerabat, kita meningkatkan peluang ‘nama besar keluarga’ terus bertahan.
Namun, agak lain ini, ternyata teori seleksi kerabat, tidak juga bisa menjelaskan semua bentuk altruisme. Ada banyak kasus di mana orang-orang berkorban untuk orang yang tidak ia kenal atau orang asing, dan bahkan dari spesies lain. Entah itu karena perasaan cinta, persahabatan dan lain sebagainya.
Untuk menjelaskan ini, beberapa orang yang kami ajak bicara 4 mata, mengajukan berbagai teori lain, misal teori timbal balik (reciprocal altruism) yang menyatakan bahwa kita membantu orang lain dengan harapan akan mendapat bantuan kembali di masa depan. Ada juga teori yang menghubungkan altruisme dengan reputasi sosial dan keinginan untuk dianggap sebagai orang yang baik. Misalnya😁.
Dan masih banyak lagi lainnya.
Buat kita, apa untungnya?
Implikasi bagi Kehidupan Sehari-hari
Sebenarnya, altruisme dapat menjadi solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial saat ini. Jika kita lihat, isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan konflik seringkali berakar dari egoisme dan kurangnya empati. Bayangkan saja konflik antara Israel dan Palestina yang tiada akhir.
Keduanya sama-sama mengklaim tanah yang sama, dan masing-masing kelompok merasa lebih berhak. Jika kedua belah pihak bisa lebih membuka hati dan melihat situasi dari perspektif lain, mungkin saja dapat menemukan jalan damai tanpa korban.
Dengan mendorong perilaku altruistik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih saling peduli dan mendukung. Imani ini, bagaimana sebagian orang menyisihkan hartanya untuk memberikan makan gratis bagi masyarakat yang kurang beruntung. Atau, bagaimana banyak relawan yang meluangkan waktu dan tenaga mereka untuk membantu korban bencana alam dan perang.
Tindakan-tindakan altruistik seperti ini tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar ‘orang lain’, tetapi juga membangun rasa solidaritas dan persatuan di antara manusia. Ketika kita melihat sesama sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar, kita akan lebih terdorong untuk saling membantu.
Altruisme bukan hanya tentang memberikan, tetapi juga tentang menciptakan perubahan dan itu berkelanjutan.
Altruisme itu Bahasa Kebaikan yang Dapat Didengar oleh yang Tuli dan dilihat oleh Buta
Menurut kamu, apakah altruisme adalah insting atau pembelajaran?
Kemungkinan besar, ni yaa, altruisme itu hasil dari interaksi antara faktor yang sifatnya keterikatan biologis, psikologis, dan sosial. Yang jelas, altruisme adalah salah satu aspek paling indah dari sifat kita sebagai manusia, dan memiliki potensi untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Ini adalah bahasa kebaikan yang dapat didengar oleh yang tuli dan dapat juga dilihat oleh yang buta.
Meskipun kita tidak selalu dapat mengontrol insting kita saat ini, paling tidak kita dapat memilih untuk bertindak secara altruistik. Setiap tindakan, dasarkan itu sabagai satu kebaikan. Sekecil apapun, dapat membantu orang lain dan sejatinya membantu diri kita sendiri.
Salam Dyarinotescom.