Attitude Masih di Bawah Rata-Rata, Karena Kaki Naik ke Meja

  • Post author:
  • Post category:Did You Know
  • Post last modified:Februari 14, 2025
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing Attitude Masih di Bawah Rata-Rata, Karena Kaki Naik ke Meja

Fenomena “kaki naik ke meja” sebagai simbol rendahnya etika dan adab kembali mencuat, terutama di kalangan mereka yang berprofesi yang katanya “berpendidikan”. Terbaru, melibatkan seorang pengacara marah-marah di ruang pengadilan hingga menaiki meja, menjadi contoh nyata bagaimana ‘attitude’ bisa meruntuhkan citra profesionalisme “Rendahnya peradaban”. Ironisnya, kejadian ini terjadi di lembaga hukum yang seharusnya menjunjung tinggi kode etik dan kehormatan.

Perilaku ini tentu bukan hanya sekadar masalah sopan santun dan moral, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga etika profesi. Padahal, seorang pengacara, sebagai bagian dari penegak hukum, misalnya, seharusnya menjadi contoh teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesopanan. Lantas, mengapa ‘attitude’ masih menjadi masalah klasik di Indonesia?

Pernah SD kah mereka☺️?

 

Hukum yang Ternyata Tidak Ada Hukumnya

“Kok ada yaa hukum yang ternyata tidak ada hukumnya?”, menjadi sebuah ironi yang menggelitik, terutama dalam konteks penegakan etika profesi hukum di Indonesia. Secara hukum positif, memang tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur larangan “kaki naik ke meja” di ruang pengadilan. Namun, bukan berarti perilaku ini serta-merta dapat dibenarkan.

Kode etik dan sumpah profesi, sebagai lex specialis yang mengatur perilaku advokat, seharusnya menjadi living law, landasan moral yang hidup dan menjiwai setiap advokat dalam menjalankan tugasnya. ‘Kode Etik Advokat’ bukan sekadar kumpulan pasal-pasal mati, melainkan cerminan nilai-nilai luhur profesi yang harus dijunjung tinggi.

 

Analogi Sederhananya begini yaa:

Ketika seseorang melanggar lalu lintas, misalnya. Tidak ada pasal dalam undang-undang lalu lintas yang secara eksplisit melarang seseorang untuk makan sambil mengemudi. Namun, tindakan tersebut jelas melanggar etika dan dapat membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Sama halnya dengan “kaki naik ke meja”, meskipun tidak ada larangan tertulis, tetapi melanggar kepatutan dan etika profesi seorang advokat.

Dan memang benar, kadangkala: Etika itu lebih tinggi daripada hukum.

 

Apa yang Terjadi dengan Hukum di Indonesia?

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia hukum Indonesia,

Sebuah ironi yang mencengangkan di mana seorang advokat yang notabene paham betul seluk-beluk hukum, yang seharusnya menjadi agent of justice dan officer of the court, justru terjerumus dalam pelanggaran etika dan adab yang seharusnya di junjung tinggi sebagai bagian integral dari profesi advokat yang orang katakan “Yang mulia”.

Pertanyaan yang menggelayut dalam benak kita sebagai masyarakat yang haus akan keadilan adalah:

“Apakah penegakan hukum di Indonesia benar-benar lemah, sehingga para penegak hukumnya sendiri pun tidak memiliki sense of ethics yang kuat?”

Atau, jangan-jangan…

Kelemahan itu terletak pada mental si orangnya, pada sekumpulan manusia yang belum sepenuhnya memahami esensi dari ‘attitude’, bahkan mungkin belum fully literate dalam konteks pendidikan dasar (SD) yang benar😧, sehingga nilai-nilai moral dan etika tidak tertanam dengan baik sejak dini?

 

‘Fiat justitia ruat caelum’ Ternyata Belum Cukup

Kita sering mendengar adagium “Fiat justitia ruat caelum”, biarlah keadilan di tegakkan walaupun langit runtuh. Namun, dalam konteks ini, tampaknya adagium tersebut belum sepenuhnya memadai. Keadilan yang hanya formalitas tanpa di imbangi dengan etika dan adab, hanya akan menghasilkan penegakan hukum yang pincang, bahkan bisa jadi kontraproduktif.

Sejati-nya: Attitude is everything.

Mengingatkan kita bahwa kecerdasan intelektual dan pemahaman hukum, meskipun penting, tidak akan menghasilkan profesional hukum yang berkualitas tanpa di imbangi dengan ‘attitude’ yang baik.

Advokat yang berintegritas tidak hanya menguasai hukum positif, tetapi juga memiliki sense of ethics yang kuat, menjunjung tinggi kode etik profesi, dan menyadari bahwa profesi advokat adalah profesi yang terhormat (noble profession). Maka dari itu jangan ‘kalian’ kotori.

 

Sedih-nya: Attitude Kita Masih di Bawah Rata-Rata

“Sedih!” Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan muka jelek mereka saat ini.

Kasus ini bukan hanya sekadar pelanggaran atas tontonan buruk dan etika profesi bagi generasi muda, tetapi juga membuka luka yang lebih dalam tentang krisis budaya dan nilai-nilai yang di anut masyarakat Indonesia.

Budaya Timur yang selama ini orang tua kita banggakan, dengan menjunjung tinggi sopan santun, adab, dan nilai-nilai luhur lainnya, seolah luntur dan terkikis di era disrupsi informasi dan modernisasi yang kebablasan.

Adab, yang dulu menjadi modal interaksi sosial kita, kini terasa semakin langka. Perilaku biadab dari ‘orang-orang tolol’ yang tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan, justru semakin merebak dan di anggap sebagai sesuatu yang lumrah.

Fenomena “kaki naik ke meja” adalah salah satu contoh kecil dari ‘sampah’ yang lupa untuk kita bersihkan. Kasus ini seperti “upil” yang harus segera kita bersihkan dari wajah peradaban Indonesia.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Tinggalkan Balasan