Tiba-tiba kebangun tengah malam yang berisik, disertai ‘ngorok’ orang sebelah, jari kram, karena: tadi siang harus mengetik balasan chat yang panjang “ngalahin caption Instagram”. Nah, sebelum itu, ngomongin “soal jari”, pernah gak: mulut (atau jari) kamu lebih cepat bekerja daripada ‘otak’ saat nge-chat. Belepotan dalam kata-kata, menjelaskan hal remeh hingga rampung satu buku, hanya untuk dijawab singkat oleh temanmu, “Oh, gitu.” – Reaksimu: 😧 Haaahhh. Bukan hanya menguras waktu, tapi juga angka (paket data), energi, dan yang paling parah: membuat kita terlihat dari ‘kelas bawah’. Satu kata untuk ini: Kuasai “Lakonis”
Inilah saatnya kita mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang masa-masa penjajahan dari jari-jari kesemutan dan pegal tadi. Dunia sudah terlalu bising, Kakak. Scroll sedikit, ada saja yang teriak-teriak. Inilah, itulah, chat masuk yang isinya drama lagi, drama lagi.
Sudah saatnya kita kembali ke “fitrah komunikasi” yang paling efisien dalam angka, paling hemat dalam waktu, minim energi, dan paling keren, untuk saat ini.
Seni “Lakonis.”
😎 Hey! Jangan khawatir sih, proyek ini tidak akan membuatmu jadi antisocial, “jadi gak ada temen”. Yakin! Ini justru akan mengubahmu menjadi sosok yang misterius, berwibawa tentu saja, dan sedikit ngeselin tapi secara elegan.
Jadi, pada prinsipnya, ada:
Satu Kebenaran yang Bikin Kita Merenung
Kalau kamu pikir “Lakonis” itu cuma soal irit kata, coba lagi pikir dengan bijak.
Sebenarnya, istilah ini adalah warisan budaya yang usianya sudah ribuan tahun, jauh lebih tua dari tren scrolling TikTok. Lakonis diambil dari nama daerah Yunani kuno, yaitu Laconia, yang merupakan rumah bagi para prajurit keren dan legend yang kita kenal sebagai orang Sparta.
Ya, mereka yang kamu lihat di film-film kolosal dengan perut six-pack “gue banget neeeh” dan jubah merah itu. 😀
Sedikit punya cerita: Masyarakat Sparta dulu terkenal karena mereka ogah buang-buang waktu untuk basa-basi. Saat mereka bicara, itu harus penting, padat, dan menusuk. Kenapa? Karena di medan perang, satu kata yang nggak perlu bisa berarti nyawa melayang.
Mereka anti dengan blabla dan bla, yang tidak menghasilkan apa-apa. Prinsip ini pun merasuk ke dalam komunikasi sehari-hari mereka. Bayangkan, jika mereka punya WhatsApp Group, isinya pasti sunyi senyap, hanya emoticon jempol dan pesan yang sifatnya aporisma (ungkapan singkat padat makna).
Lebih dalam:
Ada cerita legend tentang Raja Philip II dari Makedonia (bapaknya Alexander The Great) yang mengancam Sparta. Dia kirim surat panjang lebar berisi ancaman: “Jika aku menaklukkan Laconia, aku akan menghancurkan kotamu tanpa ampun.” Dan tahu apa balasan orang Sparta?
Mereka hanya kirim satu kata: “Jika.” Boom! Jawabannya cool, berani, dan langsung membungkam. Inilah esensi kebenaran yang tersembunyi di balik Seni Lakonis: Kekuatan bukanlah pada seberapa banyak kamu bicara, tapi seberapa bernilai setiap kata yang kamu keluarkan.
Maka, untuk menerapkan skill kuno yang luar biasa ini ke dalam kehidupan modern kita yang serba merepotkan “mirip orang ngorok di sebelah tadi”, kita perlu membedah lima elemen krusialnya. Ini bukan sekadar irit kata, tapi sebuah mindset baru.
Siap merangkul identitas baru sebagai “King Of Lakonis” yang efisien dan bikin orang bertanya-tanya?
Elemen PoV Dalam Seni Lakonis. Apa Saja?
Baiklah, mari kita mulai ini dengan bijak.
Setelah memahami akar sejarahnya, kini saatnya kita bedah bagaimana cara ngobrol ala Sparta kuno di zaman 5G ini. Ingat, tujuan kita adalah mengurangi carbon footprint komunikasi, yaitu jejak emosi dan waktu yang terbuang karena over-explaining.
Beberapa elemen ini akan menjadi blueprint kamu dalam menjalani Proyek Kocak ini. Anggap saja ini adalah update software terbaru untuk mulut dan jarimu. Melek mata untuk terlihat jenius (atau setidaknya, sangat sibuk) hanya dengan mengurangi jumlah kata yang kamu pakai!
Sebut itu:
1. The Art of Eksklusi Linguistik (Teknik Pencoretan Kata)
Ini adalah langkah fundamental.
Hapus semua kata sifat, kata keterangan, dan frasa pembuka yang sifatnya basa-basi. Anggap saja setiap kata yang tidak substansial adalah utang komunikasi yang harus kamu bayar. Fokus hanya pada subject, verb, dan object.
Misalnya, daripada mengetik, “Selamat pagi! Semoga hari ini cerah dan saya ingin mengundang Bapak/Ibu untuk datang ke acara yang sangat penting besok,” ubah menjadi: “Besok. Acara. Datang.” Hemat waktu, to the point, dan kamu terlihat seperti CEO yang punya schedule padat merayap. Ini adalah minimalisme dalam berkomunikasi.
Coba saja kamu begitu sama ortu (orang tua), Mmm… pasti langsung digampar! 😂
Jadi, pilih-pilih orang yaa. 👍
2. Memanfaatkan Konotasi Nonverbal (Ekspresi Minimalis)
Seni Lakonis tidak hanya tentang apa yang kamu katakan, tapi apa yang kamu tidak katakan. Dalam percakapan tatap muka, respons lakonis harus didukung oleh nonverbal cues yang tepat. The pause, atau jeda yang strategis, bisa jauh lebih kuat daripada satu paragraf penuh penjelasan.
Saat seseorang bertanya, tatap matanya, berikan jeda singkat, lalu berikan jawaban lakonis. Ini menciptakan kesan enigmatik (misterius). Contoh: “Menurutmu, apa kita berhasil?” Jawab dengan mantap: “Pasti.” Titik. Ekspresimu yang tenang akan menambah kekuatan pada kata tunggal itu.
3. Menguasai Seni Aporisma Nyeleneh (Pepatah Receh)
Aporisma adalah kalimat singkat yang filosofis.
Tugas kita adalah menciptakan aporisma yang kocak dan relatable untuk kehidupan modern. Ini menunjukkan kamu berpikir dalam-dalam, padahal hanya ingin menghemat kata.
Ketika kamu sedang malas memberikan pendapat panjang, lemparkan saja aporisma ciptaanmu. Contoh: “Lelah itu bukan ditidurin, tapi dimakan.” atau “Semua chat penting menunggu di hari esok.” Ini adalah jurus defensif yang elegan untuk menghindari over-explaining.
4. Respon Monosyllabic Agresif (Jawaban Satu Kata yang Tegas)
Ini adalah teknik puncak dari Lakonis.
Ini adalah keberanian untuk menjawab pertanyaan majemuk hanya dengan satu kata yang benar-benar mewakili kesimpulanmu. Tantangannya adalah memilih kata yang tepat agar tidak terdengar seperti sewot.
Contohnya saat hangout dan temanmu tanya, “Mau pesan apa? Kopi panas, es, atau teh? Gimana kalau makanan penutup sekalian?” Jawab dengan tenang: “Kopi.” (Mengabaikan semua tawaran lain). Ini disebut juga sebagai Fokus Tunggal dan sangat efektif untuk menunjukkan otoritas pada keputusanmu.
5. Prinsip “Less is More, Lebih Irit Kuota” (Efisiensi Digital)
Dalam konteks chat online, Seni Lakonis berarti menanggapi pesan panjang dengan balasan sesingkat mungkin. Hindari emoticon yang berlebihan. Gunakan hanya tanda baca yang dibutuhkan (biasanya, satu titik sudah cukup).
Jika kamu mendapat pesan, “Aku otw nih, tapi macet banget, kayaknya telat 30 menit deh. Maaf ya, nanti aku beliin kopi deh 😁 buat tebus dosa,” Balas saja: “Oke.” atau “Hati-hati.” Gak perlu dibalas, “Iya santai aja, aku juga baru nyampe kok, hati-hati di jalan ya!” Ini namanya efisiensi bandwidth mental.
Nah, beberapa elemen tadi bisa jadi membantu kamu untuk saat ini.
Tapi ada juga yang …
Mau Terlihat Lakonik: Jadi Karismatik atau Malah Bikin Orang Bingung?
Menerapkan Seni Lakonis dalam kehidupan nyata itu, kadang seperti main undian “ini bukan judi yaa”, tapi: kamu bisa terlihat sangat karismatik dan berwibawa, atau malah membuat orang lain ‘kezel bet bet’ dan mengira kamu lagi ngambek.
Kebanyakan dari kita akan melewati fase kedua sebelum sampai ke fase pertama. Jujur saja, ini adalah proyek yang risky dan kocak!
Jadi gini:
Beberapa hari lalu, seorang “sebut saja teman gue” mencoba menerapkan Jurus Monosyllabic Agresif “satu suku kata, lugas, tegas dan wibawa” di kantor. Bosnya bertanya panjang lebar soal rencana pemasaran kuartal depan, lengkap dengan data forecasting dan key performance indicator.
Setelah bos selesai, ia hanya mengangguk pelan dan berkata: “Valid.”
Sontak, bosnya terdiam sepasif patung. Ada keheningan yang canggung selama 10 detik. Si bos mengira temanku sedang bad mood atau mau resign. Akhirnya, bosnya cuma bilang, “Oke, kalau gitu deal ya.”
Berhasil? Mungkin.
Karismatik? Belum tentu.
Pengalaman yang paling sering terjadi adalah saat kita menerapkan Eksklusi Linguistik dalam chat.
Ketika doi-mu chat panjang penuh curhatan, lalu kamu balas: “Paham.” atau “Berjuang.” Tiba-tiba chat itu berhenti. Lima menit kemudian, telepon masuk. “Kamu kenapa? Kamu marah ya?” tanyanya cemas. Padahal, kita cuma sedang mencoba menjadi komunikator yang efisien dan hemat pulsa. Kita bukannya marah, kita cuma Lakonis.
Maka, kamu harus bersiap.
Orang-orang terdekatmu mungkin akan mengira kamu sedang dirasuki roh prajurit Sparta atau sedang sakit. Tapi percayalah, ini adalah tahap seleksi alam. Setelah mereka terbiasa dengan kelakonisanmu, mereka akan mulai menghargai efisiensi kata-katamu.
Bahkan, balasan singkatmu akan terasa seperti sabda. “Maaaak”. Ini adalah cara unik untuk menegaskan personal branding digital-mu: Minimalis, Berwibawa, Tapi Receh. 😁
Maksud ‘receh’ disini: Seperti orang kebanyakan. Tujuan-nya agar mereka cepet nyambung-nya. Gak ketinggian. 🫡
Teka Teki Kehidupan Seni Berkomunikasi
Proyek kocak menguasai Seni “Lakonis” ini lebih dari sekadar tantangan.
Ini seperti ‘olahraga pagi’ untuk menemukan kembali kekuatan dari ketenangan dalam berbicara. Dan kita tahu kan, informasi dan noise tanpa henti, orang yang mampu memilih diam atau hanya berbicara sepatah kata: akan selalu menjadi pusat perhatian. Mereka adalah teka-teki, dan semua orang suka memecahkan teka-teki.
Belajar menjadi Lakonis adalah belajar menghargai setiap kata.
Ini tentang menyaring clutter dan meninggalkan hanya esensi murni. Kita tidak ingin menjadi ember kosong yang nyaring bunyinya. Kita ingin menjadi mata air yang jernih, yang airnya dinanti dan memberi makna bagi yang haus. Ini adalah self-improvement yang jenaka namun mendalam.
Hari ini, ambil napas, pikirkan baik-baik.
Jangan buru-buru membalas. Biarkan keheningan bekerja. Karena, ketahuilah: Diam itu adalah masterpiece pertama, dan kata adalah masterpiece kedua. Lakukan dengan cool, dan biarkan keheningan bicara.
Okey, kembali ke awal, sudah tahu siapa orang yang ‘Ngorok’ disebelah tadi? 😀
Salam Dyarinotescom.
