Bukan Redenominasi Mata Uang, Tapi Lakukan Ini.

You are currently viewing Bukan Redenominasi Mata Uang, Tapi Lakukan Ini.

Ini kisah awal mula sebuah keresahan. Jadi: jam segini lagi asik ngopi “gak perlu disebut tempatnya”, lalu dengar obrolan di meja sebelah. “Katanya nanti duit kita mau dipotong nolnya tiga, lho!” Celetukan itu langsung viral, secepat ‘tagihan proyek’ yang berisik. Redenominasi mata uang 😧, maksudnya: Lagi?

Dalam sekejap, wacana Redenominasi Mata Uang kembali mencuat ke permukaan, seolah ini adalah healing instan untuk penyakit Rupiah yang angkanya bejibun. Jujur saja, siapa yang tak geleng-geleng kepala, ketika beli gorengan saja, harus bawa uang yang seolah tumpukan kertas utang? Numpuk!

Sebenarnya, memangkas nol itu ibaratnya kamu cuma ganti stiker harga tanpa benar-benar memperbaiki kualitas barang. Tujuannya memang baik: membuat kita tidak lagi ribet menyebut atau menulis “seratus ribu rupiah” menjadi hanya “seratus rupiah.”, misalnya.

Tapi, di balik keinginan sederhana ini, ada satu pertanyaan fundamental yang sering kita lupakan: Apakah masalah utama Rupiah memang sesederhana kelebihan nol?

Anak magang juga bisa kalo gini.

 

Dari Masalah Hingga Sejarah: Solusi Klasik atau Pengalihan Isu Sejati?

Kita semua tahu, redenominasi adalah “solusi klasik” yang sudah sering dicoba banyak negara untuk mengatasi inflasi masa lalu.

Jika kita tarik ke belakang, sejarah menunjukkan bahwa memotong nol memang berhasil membuat transaksi lebih rapi. Namun, ia hanyalah kosmetik. Ia tidak menyentuh akar penyakit yang membuat nilai uang kita rapuh, yaitu masalah integritas.

Masalah integritas ini adalah hantu senyap yang selama ini bergentayangan di dalam sistem keuangan kita. Ini bukan tentang uang yang lecek atau bolong karena masuk mesin cuci. Ini tentang penyakit kronis.

Beberapa diantaranya, misal: UANG PALSU yang merusak kepercayaan publik, dan UANG KOTOR alias dana hasil korupsi yang disimpan di bawah kasur para penjahat kerah putih. Dari ke2 penyakit ini: Koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi, mereka tahu betul tuuuh celah ini.

Mereka menimbun tumpukan uang tunai, membuat uang hasil kejahatan itu “tertidur” di luar sistem perbankan. Mereka menghindari pelaporan, menghindari pajak, dan yang paling penting, menghindari deteksi Anti Pencucian Uang (APU). Sementara kita sibuk memikirkan apakah nol akan dipotong, mereka sibuk mencari brankas baru.

Jadi, ketika kita sibuk mendiskusikan redenominasi, yang sebetulnya berisiko memicu kepanikan dan inflasi dadakan, kita justru mengalihkan perhatian dari pekerjaan rumah yang sesungguhnya.

Sudah waktunya kita berhenti mencari shortcut kosmetik dan mulai mencari solusi yang berani, dan yang paling penting: membuat para penjahat itu panik!

 

Apa Solusi? “Lakukan Ini!” (Kata Ahli Ekonomi Dunia)

Oke, kita sepakat dulu sementara ini. Redenominasi itu bukan jawabannya. Lalu, apa jurus rahasia yang bahkan dibicarakan oleh para ahli ekonomi dunia sebagai langkah cerdas? Jawabannya adalah: Memasukkan DNA Digital ke Uang Fisik.

Nah, langsung kabur dia. 😂.

Duduk dulu sebentar Paman, ini adalah solusi yang disebut sebagai Uang Fisik Tertokenisasi, sebuah langkah jenius yang bisa membersihkan Rupiah tanpa harus memangkas nol.

Biar kita satu frekuensi, kita perlu tahu sedikit tentang teknologi di baliknya. Ketika kita bicara Blockchain, kamu jangan langsung membayangkan hal yang rumit.

Bayangkan saja Blockchain itu adalah buku besar digital raksasa yang dibagikan ke banyak pihak, di mana setiap catatan (blok) yang sudah dimasukkan tidak bisa diubah atau dihapus. Karena sifatnya yang anti-curang dan anti-edit inilah, kita bisa menggunakannya sebagai “sidik jari” digital yang sempurna untuk setiap lembar Rupiah!

Masih belum tertarik?

Tahukan, ada lima poin utama yang “anak ekonom legendaris pun boleh jadi tidak tahu”, apa itu:

 

1. Ganti Baju, Sembari Razia!

Rupiah Glow Up: Edisi bersih-bersih.

Bisa saja banyak yang akan tidak suka dengan artikel ini. To The Poin saja, Bank Sentral wajib segera melakukan penarikan dan penggantian seri uang secara agresif. Tapi bedanya, proses penukaran ini harus diiringi aturan APU yang sangat ketat. Uang lama yang ditarik, harus dianalisis asal-usulnya.

Ini memaksa siapa pun yang menyimpan uang tunai jumbo hasil ilegal untuk memunculkan diri.

 

2. Tandai Aku, Maka Kamu Palsu!

Every Note is a Star: Punya ID Digital, Lo!

Setiap lembar uang yang dicetak harus memiliki Nomor Seri Unik yang langsung didaftarkan (di-hash) ke dalam sebuah Private Blockchain yang dikelola Bank Sentral. Ini menciptakan Digital ID yang tidak bisa dipalsukan.

 

3. Kanker Uang Palsu? Auto-Reject!

Detektor Keaslian Otomatis: Bye Uang Gosong.

Ketika uang masuk ke sistem bank, mesin penghitung canggih akan mengirimkan query ke blockchain. Jika Nomor Seri tidak terdaftar di ledger Bank Sentral? Langsung ditolak. Pembuat uang palsu akan kehabisan akal karena uangnya langsung kadaluarsa saat dicetak.

Bisa?

Lahir tahun berapa sih Paman, beginian saja bingung!

Sori agak keras 🫡.

 

4. Uang Tidur Kena Tilang!

Sleep No More: Dana Koruptor Wajib Bangun!

‘Blockchain’ yang sedang kita bicarakan, dapat melacak kapan terakhir kali suatu Nomor Seri uang dilihat atau masuk ke sistem bank. Uang tunai dalam jumlah besar yang “tidur” di brankas koruptor akan memiliki histori digital yang panjang. Ketika uang itu disetorkan, sistem akan mendeteksinya sebagai anomali dan langsung memicu flag investigasi.

Jika begini, semua niat jahat “cari-cari kue cubit haram” akan tertunda untuk kesekian kali-nya.

 

5. Trust But Verify: Transparansi untuk Integritas

Biar Transparan, Gak Pake Ribet.

Solusi ini meningkatkan kepercayaan publik karena adanya jaminan teknologi atas keaslian uang. Hal ini jauh lebih efektif membangun integritas negara dibandingkan dengan sekadar mengubah tampilan angka di belakang.

Apalagi jika disandingkan dengan emas, makin okey neeeh!

Dan…

Pesan diakhir acara, dari ekonom S3 dengan ijazah asli tentu saja, adalah: jumlah uang yang beredar “baiknya” disesuaikan dengan jumlah penduduk. “Jika ada yang lahir cetaklah yang baru, dan jika ada kematian maka uang itu ‘di bakar istilah-nya’ agar menjaga jumlah dan stabilitas nilai.”

 

Mengejar Integritas Negara di Era “Apa Ajah Bisa”

Kita tahu, ide-ide keren seperti tokenisasi ini sering kali terbentur tembok birokrasi dan mentalitas yang cenderung ingin “cari gampang”.

Kita berada di era serba digital dan serba “apa ajah bisa,” tapi kok banyak pembuat kebijakan yang masih terjebak pada solusi low-effort. Mereka maunya solusi yang terlihat sukses secara politik tanpa harus investasi besar dalam infrastruktur teknologi dan perubahan regulasi yang menyakitkan.

Mengapa? Karena redenominasi itu gampang di-jual.

Tinggal umumkan, potong nol, selesai.

Padahal, melawan kejahatan terstruktur seperti korupsi dan pencucian uang membutuhkan keberanian untuk mengadopsi teknologi yang mengganggu status quo, bukan sekadar memoles permukaan.

Pemerintah harus menyadari bahwa membiarkan uang kotor beredar luas adalah bom waktu. Itu adalah erosi integritas yang jauh lebih berbahaya daripada inflasi. Kita sebagai warga negara berhak donggg  menuntut agar mata uang kita tidak hanya “cantik” angkanya, tapi juga bernilai tinggi.

Inilah waktunya pemerintah menunjukkan bahwa mereka serius mengejar integritas, bukan hanya pencitraan semata.

“Agak pintarlah sedikit” kata ekonom tadi yaa 😁.

 

Membangun Kepercayaan Itu Bukan Sekadar Memotong 3 Nol Dibelakang. Abal-Abal?

Segera tarik garis akhir.

Obsesi terhadap redenominasi “yaelah sekadar memotong tiga nol” hanyalah upaya kosmetik yang berisiko abal-abal jika tidak dibarengi solusi yang fundamental. Uang kita tidak butuh diet angka, uang kita butuh detoks dari uang palsu dan uang haram.

Solusi “Lakukan Ini” melalui: Tokenisasi Nomor Seri Uang adalah langkah modern yang menggabungkan keamanan fisik dengan teknologi blockchain.

Ia adalah jurus pamungkas yang secara elegan menyelesaikan masalah korupsi dan pemalsuan tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi makro. Inilah cara kita benar-benar memberikan nilai pada Rupiah.

Membangun kepercayaan adalah investasi jangka panjang, bukan gimmick politik. Seperti yang pernah diucapkan oleh ekonom yang kami wawancara: “Kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga. Ketika itu hilang, Rupiah atau mata uang apa pun, hanyalah kertas tak bernilai.”

Mari kita pastikan Rupiah kita tidak hanya kertas, tetapi fondasi kokoh dari sebuah negara yang berintegritas. Tapi biasanya “yang begini itu” pada takut. Takut teman dan kolega juga kena. 😂

Oooh yaa, nama ekonom tadi disebutkan ialah Bang Tomo, bukan Purbaya.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply