Social Learning Remaja: Tuhkan, Ternyata 5 Ini Belum Kita Ketahui

  • Post author:
  • Post category:Parenting
  • Post last modified:September 29, 2025
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Social Learning Remaja: Tuhkan, Ternyata 5 Ini Belum Kita Ketahui

Tunggu, sebentar. Sebelum kita ngalor ngidul lebih jauh tentang remaja “penuh dengan gairah aahhh”, mari kita jujur pada diri sendiri. Coba ingat, apa hal paling konyol yang pernah kamu lakukan waktu SMP, dulu? Mungkin kamu pernah mengikuti gaya rambut seorang penyanyi pop aneh, atau membeli celana super ketat hanya karena teman-temanmu juga pakai. 😁Mungkin ada satu-dua dari kita yang diam-diam mencoba gerakan dance dari video klip yang viral, padahal aslinya malu-maluin. Nah, itu semua bukan cuma iseng-iseng, lho. Tanpa sadar, kita sedang mempraktikkan sesuatu yang disebut social learning.

Kalau dulu kita pikir itu cuma sekadar ikut-ikutan tren, ternyata di balik itu ada mekanisme laba-laba yang membuat kita jadi seperti sekarang.

Nah, kalau sudah begitu, kita sekarang tahu kalau social learning ini bukan sekadar hal sepele. Ini adalah proses belajar yang fundamental, yang membentuk siapa kita, bagaimana kita berbicara, dan bahkan cara kita berpikir.

Bedanya…

Dulu kita melakukannya secara insting. Sekarang, mari kita bedah habis-habisan kenapa remaja punya cara belajar sosial yang unik, yang jauh lebih kompleks dari sekadar meniru. Percayalah, apa yang akan kita bahas ini mungkin akan membuatmu berteriak, “Tuhkan, ternyata ini beneran belum aku ketahui!”

Hadeh😒apa saja sih…

 

Social Learning pada Remaja: Wah, Ternyata Gampang Tapi Susah

Pembelajaran sosial itu kelihatannya gampang. Kamu melihat, kamu meniru, selesai. Just It! Tapi kalau kita lihat lebih dekat, terutama pada remaja, ceritanya jadi rumit. Kita melihat bagaimana remaja begitu cepat mengadopsi bahasa gaul baru, gaya berpakaian, bahkan meme yang viral di media sosial.

Seolah-olah nih mereka itu punya antena super sensitif yang bisa menangkap setiap perubahan tren. Cepat sekali hafalnya. Itu semua karena otak remaja memang sedang dalam fase paling adaptif, mereka sangat peka terhadap sinyal-sinyal sosial dari lingkungan sekitarnya.

Tapi di balik kemudahan itu, ada kesulitan yang luar biasa. Remaja tidak hanya meniru. Mereka memproses informasi, mengevaluasi risiko, dan memutuskan apakah suatu perilaku itu worth it atau tidak. Misalnya, seorang remaja mungkin melihat teman-temannya merokok, tapi karena social reinforcement (penguatan sosial) dari orang tua dan guru yang mengatakan merokok itu berbahaya, dia akan berpikir dua kali.

Di sinilah letak rumitnya.

Pembelajaran sosial pada remaja adalah: Pertarungan antara keinginan untuk diterima oleh kelompok sebaya dan norma yang sudah ditanamkan.

Hal ini berbeda dengan orang dewasa. Ketika kita dewasa, proses belajar sosial kita cenderung lebih terstruktur. Kita belajar dari seminar, buku, atau pengalaman kerja. Kita meniru perilaku profesional yang kita kagumi.

Tapi remaja?

Mereka belajar dari segala arah: dari TikTok, dari percakapan di chat group, dari game online, dan tentu saja dari teman-teman mereka di sekolah. Tanpa sadar, mereka menyerap informasi dan norma dari jutaan sumber yang tidak terfilter.

Jadi, jangan pernah menganggap enteng social learning pada remaja. Ini adalah medan perang psikologis yang membentuk masa depan mereka. Mereka sedang membangun fondasi identitas mereka sendiri, dan di sinilah kita.

Kita disini baik sebagai orang dewasa maupun sebagai sesama remaja, seringkali salah kaprah dalam memahami prosesnya. Kita sering melihat perilaku mereka sebagai “kenakalan” atau “kebodohan”, padahal itu adalah bagian dari: proses belajar.

Sigma banget gak tuuh!..

 

Apa Saja yang Remaja Tidak Ketahui Terkait Social Learning

Sudah siap untuk terkejut?

Kita sering berpikir kita tahu segalanya tentang social learning, padahal kenyataannya, ada banyak hal yang luput dari perhatian kita. Ini bukan soal teori yang rumit, tapi tentang hal-hal fundamental yang sering kita anggap remeh. Ini dia 5 hal yang mungkin saja belum kamu sadari atau memang telah kamu dalami tentang social learning pada remaja.

Langsung saja:

 

1. The Ghost in the Machine: Pembelajaran Tersembunyi

Percayakah kamu kalau kamu bisa belajar tanpa sadar? Yup, itu bukan cuma cerita fiksi ilmiah. Di era digital, ini adalah hal yang sangat nyata. Ketika kamu scroll media sosial, algoritma terus-menerus mempelajari apa yang kamu suka, apa yang membuatmu berhenti scrolling, dan apa yang membuatmu like.

Secara tidak langsung, algoritma ini adalah guru social learning paling canggih yang pernah ada. Mereka menunjukkan apa yang “populer” dan secara halus memengaruhi pandanganmu tentang dunia, bahkan tanpa kamu sadari. Itu seperti ada “hantu” di balik layar yang terus-menerus mengajarkanmu apa yang seharusnya kamu pikirkan atau rasakan.

 

2. The Shadow Effect: Bayangan Sosial

Kita sering mengira kita cuma meniru perilaku orang yang kita kagumi. Tapi kenyataannya, kita juga belajar dari orang-orang yang kita benci atau kita anggap “negatif.” Misalnya, kamu melihat ada teman yang sering dihina karena perilakunya, dan tanpa sadar kamu belajar untuk tidak melakukan hal itu. Ini disebut pembelajaran dari penguatan negatif.

Kamu melihat konsekuensi buruk dari sebuah tindakan, dan itu membuatmu menghindarinya. Ini adalah “bayangan” yang membentuk perilakumu, membuatmu jadi tahu mana yang salah dan mana yang benar, bahkan tanpa perlu mengalaminya sendiri.

 

3. The Ripple Effect: Efek Rantai Sosial

Satu orang mengubah perilakunya, dan efeknya bisa menyebar ke seluruh lingkaran pertemanannya. Ini seperti melempar batu ke dalam air, gelombangnya menyebar ke mana-mana. Contohnya, ada satu temanmu yang tiba-tiba peduli lingkungan dan mulai membawa botol minum sendiri, dan setelah beberapa minggu, teman-teman lain di grupmu ikut-ikutan.

Itu bukan kebetulan. Itu adalah efek domino dari social learning yang membuat sebuah tren menyebar dengan sangat cepat.

 

4. The Emotional GPS: Pembelajaran Emosional

Bukan cuma soal meniru gerakan dance atau gaya rambut. Kita juga belajar bagaimana cara bereaksi secara emosional. Ketika kamu melihat temanmu sedih, kamu belajar untuk menunjukkan empati. Ketika kamu melihat seseorang yang down mendapat dukungan, kamu belajar betapa pentingnya dukungan itu.

Emosi adalah semacam “GPS” yang menuntunmu dalam berinteraksi sosial, dan remaja sangat peka terhadap sinyal-sinyal emosional ini. Mereka sedang belajar bagaimana “menavigasi” perasaan-perasaan orang lain.

 

5. The Social Currency: Mata Uang Sosial

Di kalangan remaja, popularitas adalah mata uang. Dan mata uang ini diperoleh melalui social learning. Mereka belajar skill apa yang membuat mereka terlihat keren, kata-kata apa yang bisa membuat mereka dianggap lucu, atau skill apa yang membuat mereka dihargai.

Ini adalah proses yang sangat transaksional, di mana mereka “membayar” dengan perilaku-perilaku tertentu untuk mendapatkan “keuntungan” berupa pengakuan atau popularitas. Jadi, ketika kamu melihat remaja yang mati-matian ingin terlihat keren, ingatlah, mereka sedang “bertarung” untuk mendapatkan mata uang sosial.

 

Ketika Social Sudah Tak Penting Bagi Mereka: Bahaya?

Di balik semua hiruk pikuk tentang pentingnya social learning ini, ada satu pertanyaan yang sering terlupakan: bagaimana jika remaja sudah tidak lagi peduli dengan social life? Bagaimana jika mereka lebih memilih menyendiri dan berinteraksi di dunia maya saja?

Dulu, kita para orang dewasa sering menganggap hal ini sebagai tanda “introvert” atau “pemalu.” Padahal, ada bahaya yang jauh lebih besar di baliknya. Kita seolah lupa bahwa kita pernah menjadi remaja yang liar, yang tidak bisa lepas dari teman-teman dan keramaian.

Mungkin kamu pernah melihat seorang remaja yang terus-menerus menatap layar ponselnya, di tengah keramaian. Kita sering menghakimi mereka sebagai “anak antisosial.” Tapi kita lupa, social life mereka mungkin ada di dalam ponsel itu. Mereka sedang berinteraksi, belajar, dan bahkan membentuk identitas mereka di sana.

Kita terlalu cepat menghakimi, padahal kita tidak pernah mencoba memahami dunia mereka. Kita lupa, social life tidak lagi hanya diisi dengan kumpul di taman atau di kantin, melainkan juga di group chat dan server Discord.

Ini membuat orang dewasa terkadang malu untuk menyadarinya. Kita terlalu sering membandingkan dunia remaja kita dulu yang “liar” dan “penuh petualangan” dengan dunia mereka sekarang yang tampak tenang dan terisolasi.

Padahal, kenakalan dan petualangan mereka mungkin hanya berpindah tempat. Dulu kita melanggar aturan di dunia nyata, sekarang mereka “melanggar” di dunia maya. Kita tidak pernah bertanya, kenapa mereka lebih nyaman di sana?

Kita lupa, bahwa dunia yang mereka hadapi jauh lebih brutal dari dunia kita dulu.

Mereka bisa mendapatkan komentar jahat dari ribuan orang, bukan hanya dari teman sekelas. Mereka bisa melihat kesempurnaan palsu yang membuat mereka merasa insecure. Ketika mereka akhirnya menarik diri, itu mungkin bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka sudah lelah dengan ekspektasi dan tekanan dari social life yang begitu rumit dan berbahaya.

 

Remaja, Social life, dan Peran Orang Tua

Pada akhirnya, kita kembali ke titik awal.

Remaja, social life, dan peran orang tua yang sering kali tidak kita sadari. Kita harus sadar bahwa social learning pada remaja bukanlah tentang bagaimana kita memaksa mereka untuk berinteraksi, tapi tentang bagaimana kita menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka untuk belajar.

Narasi yang begini ini akan membuat kita tersadar akan peran yang seharusnya kita miliki.

Sudah waktunya kita mengubah cara pandang. Bukan lagi tentang “kenakalan” atau “kebodohan”, tapi tentang social learning yang begitu jelimet. Kita tidak bisa lagi menghakimi mereka karena lebih memilih berinteraksi secara digital, kita harus mencoba memahami apa yang mereka pelajari di sana.

Kita harus menjadi “pemandu” bagi mereka, bukan lagi menjadi “hakim” yang memvonis setiap perilaku yang tidak kita pahami.

Jadi stop Nge-Gas Melulu!😒

Sebagai kopi jahe hari ini: kita bisa menyadari bahwa remaja adalah cerminan dari diri kita sendiri di masa lalu, hanya saja mereka hidup di era yang berbeda. Mereka memiliki tantangan yang lebih besar, dan kita punya tanggung jawab untuk membantu mereka melewatinya. Jadi, mari kita tinggalkan semua penghakiman dan mulai bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat social learning mereka lebih sehat dan lebih bermakna?”

Ingatlah: Ketika kamu melihat mereka tersesat, jangan salahkan. Cobalah untuk menuntun jalannya. Pecayalah, ‘pembiaran’ adalah salah satu keburukan yang sebenarnya.

 

Salam Dyarinotescom.

 

Leave a Reply