Impor sudah menjadi jalan damai kita semua. Bukan warga +62 jika tidak mengikuti tren kekinian. Dari wagyu a5, manisnya gula, hingga urusan sepiring nasi kita beli dari luar. Pada gilirannya, makin hari kegiatan impor makin halal dan terbiasa. Atas dasar apa itu dilakukan, entahlah. Walaupun keadaan baik-baik saja, tapi beginilah satu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan warga +62 Dimensi ke 3.
Opening
Headlinenya: Konsumsi Impor Makin Menjadi. Apa Masalah? Sudah kebanyakan duitkah bangsa ini? Atau terlalu nyaman duduk di kursi, dan hanya bisa: beli, jual, dan beli lagi. Layak nya penjual di tanah abang yang sudah mulai sepi. “Repot bro, ngurusin beginian, jual beli sajalah, biar kelihatan cashflow nya”. Terlihat kerja dan kerja.
Mungkin Ia lupa tentang ini. Problem mendasar dari ‘all about it’ adalah kita kurang perduli, takut capek, kebanyakan urusan, dan kurang mau menyuarakan bagaimana menyiasati habit yang menjadi-jadi. ‘Habit Mie Instan’. Yaa, jadinya seperti ini. Dan diakhir cerita, Bapak Pimpinan dijadikan bantalan kesalahan.
Sudah tahu belum, ada sebuah Negara Dimensi ke 3 yang memiliki potensi Sumber Daya Alam luar biasa, tanahnya subur, jumlah penduduk banyak, tapi malah memble mengelolanya. Masalah kemandirian pangan saja ribet ngurusnya.
Urusan pangan itu masalah krusial.
Problem dapur, dan ini penting untuk di printing menjadi satu isu yang patut kamu perjuangkan. Kami ketahui dalam pendalaman data publik terbuka, dari 9 bahan pokok yang kita butuhkan, 6 di antaranya di dapatkan dari luar, alias impor.
Ini kebutuhan pokok lho pak, bu. Ini kebutuhan yang mendasar dari seluruh rakyat Indonesia yang harus Negara penuhi. “Stock harus di jaga, agar masyarakat tenang dan stabilitas harga stabil” kata beliau. Tapi, secara tidak sadar itu menjadi bumerang yang mematikan kemandirian bangsa, jika terus di lakukan, terus di amini, dan menerus sebagai beban anggaran.
Kala Impor Makin Menjadi
Semakin hari impor komoditas konsumsi makin halal. Beras, daging, sayur sayuran sungguh menarik perhatian para pedagang berdasi panjang yang duduk di kursi kehormatan dengan dollar USD di kaleng biskuit khong guan.
Tahukah kamu, Indonesia Jadi Importir Beras Terbesar ke-5 Dunia pada 2023.
Di awal tahun, pengelola negara menyatakan akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton. Tercatat dalam surat resmi Badan Pangan Nasional (Bapanas) tertanggal 24 Maret 2023.
“Kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah dari luar negeri, yaitu sebesar 2 juta ton sampai dengan akhir Desember 2023. Pengadaan 500 juta ton pertama di laksanakan secepatnya”.
Belum lagi masalah perdagingan. Kita impor daging wagyu a5 untuk di konsumsi, lantas kita ekspor daging pula (TKW) untuk mereka ‘konsumsi’. Terima untung banyak, masuk kas negara untuk dimakan bersama rakyat.
Okey lah. Import ini di lakukan sebagai langkah tepat untuk membangun kepercayaan publik dan pasar, tentang kesigapan negara dalam mengatasi kelangkaan dan menjaga stabilitas bahan pokok.
Lalu bagaimana kedepannya? Satu, dua, tiga tahun berikut. Apakah kita masih mampu memproteksi ketahanan pangan di next episode? Era di mana semua negara-negara mulai berpihak kepada tren Proteksionisme. Kemana lagi jalan ceritanya.
Tren Proteksionisme
Tren proteksionisme dunia meningkat, termasuk negara-negara maju sekalipun. Ada banyak hal yang membuat Negara-negara ini melakukan hal tersebut. Sebut saja diantaranya: takut kehabisan stock kala pasar dunia terguncang karena ‘wabah’ atau perang To The Death.
Di Indonesiakan sebagai Proteksi Perdagangan yaitu kebijakan yang diambil pemerintah ‘suatu negara’ yang mengarah pada perlindungan ekonomi lokal mereka.
Dengan cara: “Perketat perdagangan kita!”. Melalui cara-cara pembatasan arus ekspor dan impor, ini mereka maksudkan agar melindungi ekonomi dalam negeri.
Ini di lakukan karena keadaan dunia menggencarkan kontak fisik yang tak terelakkan. Saling mematikan, dan mengambil alih wilayah kebebasan. Dengan dalih “Kami di Serang!”. Lantas, ‘Gerakan Menyimpan’ sangat di butuhkan untuk menjaga keadaan dari panas mengganas.
“Ini juga momentum untuk mencari untung” kata mereka. Ini adalah satu alasan yang tepat yang bisa di bawa ke permukaan dan dijadikan judul “mengapa kebijakan ini, kami keluarkan”. Dengan mantap bersikap “Kami terpaksa”.
Memahami Kebiasaan Yang Tidak Bisa Ditinggalkan
Pola kita saat ini, dari nenek moyang yang lebih dulu hidup ratusan tahun, dari kakek, nenek, opa dan oma, kurang lebih sama dengan cara kita mengatasi satu masalah. Yaitu dengan cara: Simple, Supple dan Apple.
Simple bisa kami samakan dengan sederhana atau kesederhanaan di balut dengan kekeluargaan. Tak terlalu neko-neko. “Jika itu bisa menyelesaikan masalah saat ini, lakukan saja”.
Supple bisa kami persamakan sendiri dengan kenyal, luwes, gampang berbaur, dan terkadang mudah terombang ambing. Bisa terlihat besar dengan impian panjang, tapi patah ketika di beri sentilan karena pondasi yang rapuh layaknya generasi penerus mu.
Sedangkan Apple sendiri kami artikan sebagai simbol kemewahan, terlihat cantik, kokoh di luarnya, namun di dalamnya: “biasa saja” tak ada yang istimewa. Terlihat hebat hanya di mulut saja. Dan Itulah kita menurut kami.
Closing
Jangan lihat siapa kami yang menyuarakan ini, tapi lihat apa yang ingin kami sampaikan. Jeli? Dan ini hanya di mengerti untuk orang-orang yang satu frekuensi. Orang-orang yang membaca ini dari opening hingga closing.
Jangan pula salahkan kami untuk bersuara tapi tidak memberikan solusi nyata untuk mengatasinya. Solusi itu tujuannya sama yaitu mengatasi ketidakbenaran, tetapi hanya saja cara setiap orang berbeda.
Salam Dyarinotescom.