Generasi muda saat ini seringkali di hadapkan pada tantangan jelimet yang memicu krisis identitas. Di tengah arus informasi yang cadas dan deras, perubahan sosial yang whoosh, dan tekanan untuk tampil “Okey!” berprestasi, banyak yang merasa kehilangan arah dan kesulitan menemukan jati diri. Dalam konteks ini, pemikiran Rollo May tentang: Being-in-the-world (berada-di-dunia) menawarkan perspektif berharga untuk memahami dan mengatasi permasalahan ini.
Being-in-the-world merupakan konsep sentral dalam psikologi eksistensial yang menekankan bahwa manusia tidak terpisah dari lingkungannya, tetapi justru terhubung dan berinteraksi secara dinamis. May menjelaskan bahwa keberadaan manusia melibatkan tiga dimensi relasi: Umwelt (alam yang kita tempati), Mitwelt (relasi sesama), dan Eigenwelt (mengenal kalbu).
Sampai di sini, kamu taukah siapa itu Rollo May?
Siapa Rollo May?
Tukang copet? Bukan 😁.
Yang pasti, Rollo May (1909-1994) adalah seorang psikolog eksistensial Amerika Serikat yang sangat berpengaruh kala itu. Ia bukanlah tokoh politik di Negeri Konoha. Karyanya berfokus pada pengalaman manusia, kebebasan, kecemasan, dan pencarian makna dalam hidup.
Ia sering dikaitkan dengan psikologi humanistik, tetapi ia lebih condong ke filsafat eksistensial. Pemikirannya, khususnya konsep being-in-the-world, misalnya, sangat relevan untuk memahami krisis identitas generasi muda saat ini.
Yang menarik disini adalah memahami pola generasi muda. Memangnya ada apa dengan generasi muda?
Ada apa dengan Identitas Generasi Muda?
Kita sebagai manusia saat ini hidup di dunia yang penuh dengan bombardir informasi dan ekspektasi dari berbagai sumber. Layaknya serangan Israel atas Palestina. Semua orang tanpa terkecuali termasuk generasi muda, merasa kebingungan tentang adanya ketidakpastian, dan kesulitan dalam menemukan “Siapa gue ini?”. Krisis identitas inilah seringkali muncul akibat disrupsi dalam ketiga dimensi yang kami sebutkan diatas.
Kami sebutkan kembali ketiga dimensi itu, seperti:
Umwelt (Alamiah)
Dalam Umwelt (lingkungan), isu-isu global seperti perubahan iklim dan krisis ekonomi menciptakan ketidakpastian dan kecemasan akan masa depan bagi generasi muda. Ujung-ujungnya takut menikah, takut pula punya anak. Mereka “cemas!😒” Kecemasan yang dimaksud adalah mereka takut masa depan mereka suram, khawatir perkara soal duit, dan merasa tidak berdaya.
Inti-nya: masalah lingkungan dan ekonomi bikin generasi muda “overthinking” soal masa depan, takut tidak bisa survive dengan baik di dunia yang penuh ketidakpastian ini. Nah, bagaimana dengan:
Mitwelt (Sosial)
Dalam Mitwelt (interaksi sosial), tekanan sosial untuk memenuhi standar tertentu, persaingan yang ketat, “Muda, tampan, banyak uang” dan pergeseran nilai-nilai tradisional dapat menyebabkan alienasi (keterasingan) dan kesulitan membangun hubungan yang related.
Singkat-nya: Mitwelt yang penuh dengan tekanan standar, persaingan, dan pergeseran nilai bisa membuat kita merasa terasing dari orang lain dan sulit membangun hubungan yang jujur dan tulus, karena kita merasa harus memakai “topeng” atau menyembunyikan diri kita yang sebenarnya.
Lalu, bagaimana dengan:
Eigenwelt (Internal)
Sementara dalam Eigenwelt (kebatinan), kurangnya pemahaman diri, konflik internal, dan kesulitan mengintegrasikan pengalaman hidup dapat menghambat pembentukan identitas mereka dan hanya mengikuti standar sosmed.
simple-nya: Eigenwelt itu soal “dunia dalam diri” kita. Kalo kita kurang kenal sama diri sendiri (kurang paham siapa kita sebenarnya, apa nilai-nilai kita, apa yang kita mau), punya banyak konflik batin (misalnya, antara apa yang kita inginkan dan apa yang di harapkan orang lain dari kita), dan susah “mencerna” pengalaman hidup (baik yang menyenangkan maupun menyakitkan), maka bakal susah buat kita punya identitas yang kuat dan jelas.
Ketika Harus Memahami dan Mengatasi
Pemikiran Rollo May berakar pada psikologi eksistensial, sebuah aliran pemikiran yang menekankan pada keberadaan manusia sebagai makhluk yang berbeda antara satu dan lainnya, di berikan kebebasan, dan meiliki tanggung jawab secara pribadi.
Berbeda dengan pandangan psikoanalisis yang cenderung melihat manusia di dorong oleh insting dan dorongan bawah sadar, atau behaviorisme yang menekankan pengaruh lingkungan, May menempatkan manusia sebagai agen aktif yang menentukan arah hidupnya. Manusia tidak hanya ada, tetapi juga berada di dunia (Dasein), yang berarti manusia memiliki kesadaran diri, kemampuan untuk merefleksikan diri, dan kapasitas untuk memilih.
Dalam konteks inilah, pemikiran May menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Memahami
Dalam konteks krisis identitas, misalnya, ini berarti generasi muda memiliki kapasitas untuk membentuk identitas mereka sendiri melalui pilihan dan tindakan yang mereka ambil. Kebebasan untuk Memilih (Freedom of Choice), misalnya. Ini adalah inti dari pemikiran eksistensial.
Menekankan bahwa manusia tidak hanya di dorong oleh insting, dorongan bawah sadar, atau faktor lingkungan semata. Manusia memiliki kapasitas untuk menentukan arah hidupnya melalui pilihan-pilihan yang diambil.
Kebebasan ini bukan hanya sekadar ilusi, melainkan sebuah “kapasitas kita sebagai apa?”. Kita bebas kok memilih bagaimana merespons situasi, nilai-nilai apa yang dianut, dan tujuan apa yang ingin dicapai dalam hidup.
Namun, kebebasan ini juga memunculkan kecemasan eksistensial, yaitu kecemasan yang timbul dari kesadaran akan ketidakpastian dan tanggung jawab atas pilihan tersebut. Sedikit melebar, May misalnya, membedakan antara kecemasan normal dan kecemasan neurotik.
Kecemasan normal merupakan respons yang wajar terhadap situasi yang menantang dan dapat memotivasi individu untuk mencari solusi. Sedangkan kecemasan neurotik bersifat berlebihan dan menghambat, seringkali muncul akibat represi atau penghindaran terhadap masalah yang mendasarinya.
Mengatasi
Menghadapi pergerakan kebiasaan zaman yang serba sat-set, alaih-alaih sebagai generasi muda yang seringkali bergulat dengan pertanyaan mendasar tentang “Siapa Aku?”. Krisis identitas, sebuah pergumulan eksistensial, menuntut pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan dunia di sekitar. Solusinya terletak pada integrasi tiga dimensi being-in-the-world yang fundamental tersebut.
Misalnya,
Pertama: membangun koneksi yang sehat dengan alam (Umwelt). Ini bukan sekadar rekreasi, melainkan menyadari keterhubungan esensial manusia dengan lingkungan. Sentuhan alam dapat meredakan stres, memberikan perspektif baru, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan planet.
Kedua: menjalin hubungan yang ‘autentik’ dengan sesama (Mitwelt) menjadi fondasi penting. Interaksi bermakna, komunikasi jujur, dan dukungan sosial menciptakan ruang aman bagi eksplorasi identitas. Komunitas yang mengedepankan suportivitas membantu generasi muda merasa di terima, di pahami, dan di kuatkan dalam perjalanan pencarian jati diri.
Ketiga: dan yang terpenting, adalah pengembangan pemahaman mendalam tentang diri sendiri (Eigenwelt). Proses introspeksi ini membutuhkan keberanian untuk menghadapi kecemasan eksistensial, yaitu kegelisahan akan kebebasan memilih dan tanggung jawab atas konsekuensinya.
Eksplorasi nilai-nilai pribadi, keyakinan, minat, dan bakat menjadi kunci untuk membuat pilihan yang selaras dengan diri sendiri. Dukungan dari pendidikan yang memfasilitasi refleksi diri, pengembangan keterampilan sosial dan emosional, serta pemahaman tentang isu-isu eksistensial, seperti makna hidup dan kebebasan, sangatlah krusial.
Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi ini, generasi muda dapat menavigasi krisis identitas, membangun fondasi diri yang bukan kaleng-kaleng, dan menemukan makna dalam keberadaan mereka di dunia.
Being-in-the-world by Rollo May
Pemikiran Rollo May tentang being-in-the-world (berada-di-dunia) mengingatkan kita bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis atau di berikan secara pasif, melainkan sebuah proses dinamis yang terus-menerus di bentuk dan di negosiasikan melalui interaksi aktif kita dengan dunia, yang mencakup lingkungan alamiah ( Umwelt), relasi sosial dengan sesama (Mitwelt), dan terutama, relasi internal dengan diri sendiri (Eigenwelt).
Dengan memahami konsep integral ini, generasi muda dapat memandang krisis identitas bukan sebagai sebuah momok yang menakutkan atau kegagalan personal, melainkan sebagai sebuah peluang berharga dan bahkan krusial untuk pertumbuhan dan perkembangan diri yang signifikan. Ini sebuah kesempatan untuk secara sadar merefleksikan nilai-nilai yang di yakini, mengeksplorasi potensi diri, dan merumuskan kembali makna keberadaan kita di dunia.
Tentu saja, proses ini memberdayakan mereka untuk melampaui sekadar konformitas “sesuai dengan norma sosial yang ada” dan ekspektasi “bagaimana seseorang seharusnya bertindak”. Pada akhirnya, menavigasi kehidupan menuju terciptanya sebuah eksistensi yang lebih autentik “tulen”, penuh integritas “moralitas”, dan bermakna, di mana mereka dapat hidup selaras dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Salam Dyarinotescom.